
Rencana ambisius Pemerintah Republik Indonesia untuk membangun aplikasi berbasis kecerdasan buatan (AI) dalam sektor ketahanan pangan dan sistem perlindungan sosial, dengan target peluncuran pada Agustus 2025, serta penyediaan layanan kesehatan gratis dan penciptaan 9 juta talenta digital pada tahun 2030, memunculkan pertanyaan mendasar: Apakah ini prioritas yang tepat, mengingat kondisi infrastruktur digital dan literasi teknologi di Indonesia saat ini?
Membangun aplikasi AI untuk ketahanan pangan dan perlindungan sosial terdengar menjanjikan, namun akan menjadi hal yang sia-sia belaka jika fondasi pendukungnya masih rapuh. Kecepatan dan keandalan internet di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara, apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara maju. Bagaimana mungkin aplikasi AI dapat berfungsi optimal jika koneksi internet seringkali putus-putus, lambat, atau bahkan tidak tersedia di banyak daerah, terutama di wilayah-wilayah terpencil?
Pemerintah mengakui tantangan dalam menghubungkan 17.000 pulau di Indonesia secara merata. Rencana pelelangan spektrum 2,6 dan 3,5 gigahertz (GHz), perluasan jaringan serat optik dan kabel bawah laut, konsolidasi industri telekomunikasi, serta pengembangan pusat data nasional berlatensi rendah adalah langkah-langkah yang patut diapresiasi. Namun, realisasinya membutuhkan waktu dan investasi yang sangat besar. Sebelum kita berbicara tentang AI, fokus utama seharusnya adalah memastikan bahwa seluruh wilayah Indonesia memiliki akses internet yang cepat, stabil, dan terjangkau.
Selain masalah infrastruktur, tingkat literasi digital dan pemahaman tentang keamanan teknologi informasi di kalangan masyarakat Indonesia juga masih perlu ditingkatkan secara signifikan. Program literasi digital yang komprehensif dan berkelanjutan harus menjadi prioritas utama. Pendidikan informatika yang mencakup dasar-dasar pemrograman, analisis data, dan etika penggunaan teknologi harus dikembalikan ke kurikulum sekolah. Tanpa pemahaman yang memadai tentang teknologi, masyarakat akan sulit untuk berpartisipasi aktif dalam era digital dan rentan terhadap berbagai ancaman siber.
Inisiatif untuk membangun pusat keunggulan AI di berbagai kota, termasuk Papua, patut diacungi jempol. Namun, keberhasilan inisiatif ini sangat bergantung pada kualitas sumber daya manusia dan ketersediaan infrastruktur pendukung. Investasi dalam pendidikan dan pelatihan AI harus diprioritaskan, dengan fokus pada pengembangan talenta lokal yang mampu menciptakan solusi AI yang relevan dengan kebutuhan Indonesia. Kita harus menghindari jebakan menjadi sekadar konsumen teknologi AI dari negara lain.
Isu diaspora digital juga penting untuk diperhatikan. Keberadaan 8 juta warga negara Indonesia di luar negeri, termasuk 20.000 di Silicon Valley, merupakan potensi besar yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan teknologi Indonesia. Pemerintah perlu menjalin komunikasi dan kerja sama yang erat dengan diaspora digital, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi mereka untuk berkontribusi kembali ke tanah air. Istilah "brain link" lebih tepat daripada "brain drain" karena menunjukkan semangat untuk membangun jaringan dan kolaborasi yang saling menguntungkan.
Singkatnya, ambisi Pemerintah untuk mengembangkan aplikasi AI di berbagai sektor patut diapresiasi, tetapi harus diimbangi dengan pemahaman yang mendalam tentang realitas digital Indonesia. Membangun infrastruktur internet yang kuat dan merata, meningkatkan literasi digital dan kesadaran keamanan teknologi informasi, serta mengembangkan talenta AI lokal harus menjadi prioritas utama sebelum kita berbicara tentang implementasi AI yang luas. Jika fondasi ini tidak diperkuat, investasi dalam AI hanya akan menjadi proyek mercusuar yang tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Sumber: suara.com
Artikel Diperbarui pada: 29 April 2025Kontributor: Syauqi Wiryahasana
Model: Haifa Manik Intani