
Di ujung selatan bumi, terdapat sebuah pulau tak berpenghuni bernama Campbell, tak jauh dari Antartika. Iklim di sini dingin, vegetasi minim, dan angin kencang bertiup dari segala arah. Penghuni pulau ini adalah penguin, singa laut, dan burung laut, tanpa kehadiran manusia. Namun, di antara pemandangan ini, makhluk tak terduga muncul: domba. Bukan hanya satu atau dua, melainkan sekitar 4.000 ekor domba hidup di pulau ini. Domba-domba ini bukanlah domba biasa seperti yang ditemui di peternakan. Mereka tiga hingga empat kali lebih besar, dengan bulu tebal yang menyumbang setengah atau lebih dari berat tubuh mereka. Bulu ini membuat mereka sulit bergerak, makan, dan minum, seolah-olah mereka terjebak dalam tubuh sendiri. Namun, kisah mereka bukan tentang kepunahan, melainkan tentang kelangsungan hidup yang luar biasa, menuju pembentukan spesies baru yang belum pernah ada di bumi.
Pulau Campbell ditemukan pada tahun 1810 oleh seorang kapten Australia saat berburu anjing laut. Pulau ini dinamakan berdasarkan nama pemilik kapal, Campbell bersaudara dari Sydney. Awalnya, pulau ini menjadi tempat berburu singa laut, lalu digunakan oleh pemburu paus. Pada tahun 1896, pulau ini masuk dalam sistem sewa tanah negara ala Selandia Baru, di mana siapa pun bisa menyewa lahan untuk beternak atau membangun. Mr. Gordon dari Gisborne menjadi penyewa pertama, mengirim 400 domba dan kayu untuk bangunan. Namun, pada tahun 1900, ia bangkrut, dan Kapten Tucker mengambil alih. Tucker serius mengembangkan peternakan domba, mengirimkan sekitar 3.000 ekor domba, kebanyakan jenis merino atau persilangan merino. Dengan pakan berlimpah seperti megaherb—tanaman berdaun lebar khas pulau subantartik—domba-domba ini berkembang pesat, mencapai puncak populasi 7.000–8.000 ekor sekitar tahun 1913.
Kondisi di Pulau Campbell awalnya ideal untuk domba. Megaherb memanfaatkan sinar matahari yang terbatas, menyediakan makanan bergizi. Namun, seiring waktu, vegetasi mulai menipis karena konsumsi domba yang berlebihan. Populasi domba pun menurun, dan pada tahun 1931, hanya tersisa sekitar 4.000 ekor. Saat itu, peternakan ditinggalkan karena masalah keuangan. Para pekerja di pulau juga terlantar selama dua tahun tanpa kapal untuk kembali ke peradaban. Pemerintah akhirnya mengirim kapal untuk menjemput mereka dan bulu domba yang telah digunting, tetapi nilai bulu tersebut tak cukup menutupi biaya sewa kapal. Domba-domba yang ditinggalkan tetap menjadi milik pemilik, tetapi tak pernah diurus lagi. Ribuan domba kini harus bertahan hidup sendiri di alam liar, meskipun mereka sama sekali tidak diciptakan untuk itu.
Domba-domba ini adalah hasil domestikasi yang dirancang untuk menghasilkan bulu, bukan untuk hidup liar. Bulu mereka terus tumbuh tanpa henti, membutuhkan pencukuran tahunan. Tanpa pencukuran, bulu yang berlebihan mengancam kesehatan mereka, seperti dialami seekor domba jantan bernama Barack di Australia pada tahun 2021. Barack ditemukan dalam kondisi hampir mati, tak bisa melihat, dan kelelahan karena bulu yang terlalu berat. Domba domestik kehilangan kemampuan molting alami seperti nenek moyang liar mereka, muflon, yang menggugurkan bulu di musim panas. Selain itu, domba ini rentan terhadap cedera dan stres, bahkan tanpa serangan predator. Di Pulau Campbell, tidak ada predator besar, hanya burung skua yang mungkin mengincar domba lemah. Angin kencang menghambat pemulihan vegetasi, tetapi juga menjauhkan lalat, mengurangi gangguan pada domba. Meski kondisinya keras, lingkungan ini memberi mereka peluang bertahan.
Antara tahun 1931 dan 1958, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Setelah populasi domba anjlok karena kekurangan makanan dan tanpa perawatan manusia, jumlah mereka perlahan meningkat kembali. Peneliti menduga banyak domba mati pada awalnya karena bulu yang terlalu tebal, mirip nasib Barack. Namun, domba-domba yang bertahan memiliki sifat lebih tangguh, mungkin dengan bulu yang tidak terlalu lebat. Seleksi alam bekerja cepat: hanya domba dengan sifat yang mendukung kelangsungan hidup yang berkembang biak, menghasilkan keturunan yang lebih adaptif. Vegetasi yang pulih selama penurunan populasi juga membantu. Tanpa predator besar, domba-domba ini mendapat waktu untuk berevolusi. Pada tahun 1975, ketika manusia kembali, mereka menemukan domba yang tampak biasa tetapi sebenarnya telah berubah menjadi breed genetik baru, dengan ciri fisik dan perilaku yang berbeda dari domba daratan.
Domba liar Campbell memiliki kaki lebih panjang, kepala lebih tegak, dan rahang yang beradaptasi untuk mencabik vegetasi keras. Bulu mereka lebih tipis dan cenderung rontok seperti muflon liar. Mereka melahirkan sambil berdiri, dan anak domba bisa berjalan beberapa menit setelah lahir. Perilaku mereka juga berubah: mereka merumput dari pukul 04.00 hingga 23.00, bahkan dalam angin kencang, demi memenuhi kebutuhan energi. Namun, keberadaan mereka mengancam ekosistem pulau. Pada tahun 1937, pulau ini ditetapkan sebagai kawasan perlindungan, dan pada 1954, menjadi cagar alam. Pemerintah memerintahkan penghapusan domba, dan pada akhir 1980-an, sekitar 3.000 domba dibunuh. Sebelum itu, pada 1975–1976, 10 domba diselamatkan untuk diternakkan di Selandia Baru. Proses penangkapan sulit karena domba-domba ini telah liar, bahkan beberapa menyerang peneliti. Sepuluh domba terpilih akhirnya dibawa ke kapal dengan susah payah, menjaga kelestarian breed unik ini.
Kisah domba Campbell mengingatkan pada kanguru di Pulau Kangaroo, Australia, yang terisolasi 10.000 tahun lalu dan berevolusi menjadi subspesies berbeda. Jika domba Campbell dibiarkan di pulau, mereka mungkin membentuk spesies baru dalam ribuan tahun, dengan bulu lebih ringan namun tetap melindungi dari dingin. Sayangnya, pada 2017, lima domba langka dari keturunan Campbell dicuri dan dibunuh, mengurangi populasi menjadi hanya 30 ekor. Pemiliknya kehilangan domba berharga, beberapa di antaranya sedang hamil. Meski pelaku mungkin mengincar daging, daging domba liar ini tidak aman untuk dikonsumsi. Kini, domba-domba yang tersisa terus hidup di penangkaran, menjaga warisan genetik mereka. Kisah ini adalah bukti kekuatan adaptasi, di mana makhluk rapuh mampu menaklukkan alam liar dan meninggalkan jejak abadi.
Artikel Diperbarui pada: 04 May 2025Kontributor: Syauqi Wiryahasana
Model: Haifa Manik Intani