
Dulu, ia dijuluki "Jenderal Bodoh" oleh rekan-rekannya sendiri, Jenderal Ahmad Yani. Dianggap tidak kompeten, tidak strategis, dan hampir dipecat dari militer. Namun, siapa sangka dialah yang kemudian memerintah Indonesia selama 32 tahun. Bagaimana bisa Soeharto, yang awalnya diremehkan, menjadi penguasa paling kuat dalam sejarah Indonesia? Inilah kisahnya. Salah satu elemen paling menarik dalam dinamika sejarah politik Indonesia di awal era Orde Baru adalah pandangan terhadap Jenderal Soeharto yang sangat kontras dengan kenyataan, seperti yang diungkapkan Salim Said dalam bukunya "Gestapu 65, PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto". Soeharto, yang kelak menjadi penguasa Orde Baru, awalnya dipandang sebelah mata oleh banyak pihak, terutama oleh kubu Jenderal Yani. Menurut mereka, Soeharto adalah sosok yang tidak memiliki kapasitas kepemimpinan yang memadai, bahkan dianggap sebagai jenderal yang bodoh. Penilaian ini tidak hanya datang dari Jenderal Yani, tetapi juga dari beberapa kalangan militer lain yang merasa Soeharto tidak layak menduduki posisi tinggi di TNI.
Bagi Jenderal Yani dan para perwira lain di militer, Soeharto adalah sosok yang tidak menonjol dalam hal kepemimpinan militer dan taktik perang. Soeharto dianggap tidak memiliki kecerdasan yang cukup untuk menandingi jenderal senior seperti Yani atau Nasution yang lebih dikenal karena kecerdasan intelektual dan kemampuan militernya. Bahkan, banyak yang menganggap Soeharto, yang berasal dari Kemusuk, sebuah desa kecil di Jawa Tengah, tidak memiliki pengalaman yang cukup untuk berada di lingkaran elit militer Indonesia. Pandangan ini mencerminkan kurangnya kepercayaan mereka pada kemampuannya menghadapi tantangan militer dan politik saat itu. Mereka juga menganggap Soeharto terlalu sederhana dalam pengumpulan data dan kurang memiliki kecerdikan dalam mengeksekusi strategi. Namun, realitas sejarah membuktikan bahwa pandangan ini jauh dari benar. Ternyata, meskipun diremehkan oleh para jenderal senior, Soeharto justru memiliki kecerdasan politik luar biasa yang tidak tampak di permukaan.
Yang membedakan Soeharto dari banyak jenderal lainnya adalah kemampuannya menyembunyikan ambisinya dengan sangat rapi. Tidak seperti Jenderal Yani atau Jenderal Nasution yang lebih terbuka dalam menunjukkan sikap dan ambisinya, Soeharto memiliki kemampuan menyembunyikan perasaannya dan bertindak sangat hati-hati. Bahkan, meskipun ia mungkin tahu bahwa dirinya diremehkan dan disebut jenderal bodoh oleh Kubu Yani, Soeharto tidak pernah mengkritik atau membalas ejekan tersebut. Sebaliknya, ia memilih untuk tetap tenang, fokus pada tugasnya, dan tidak menunjukkan permusuhan terhadap siapa pun. Kemampuan ini menjadi kunci penting dalam perjalanan politik Soeharto. Ia tidak hanya menghindari konfrontasi langsung, tetapi juga berhasil menjaga hubungan baik dengan berbagai pihak yang kelak memainkan peran dalam perjalanan politiknya. Hal ini sangat kontras dengan kebanyakan perwira militer lainnya yang seringkali terjebak dalam ketegangan internal dan persaingan terbuka.
Soeharto, meskipun tidak dianggap sebagai jenderal yang cerdas dalam hal strategi militer oleh Kubu Yani, justru menunjukkan kecerdasan luar biasa dalam membaca situasi dan merencanakan langkah-langkah politiknya. Salah satu kunci keberhasilan Soeharto adalah kemampuannya memainkan peran yang tidak terlihat dalam konteks militer. Alih-alih terlibat langsung dalam persaingan politik terbuka, Soeharto memilih untuk mengambil posisi yang lebih strategis, mendengarkan dan memperhatikan dinamika yang terjadi di sekitarnya. Dalam hal ini, Soeharto dikelilingi oleh orang-orang dengan kemampuan intelektual tinggi seperti Ali Murtopo, Sudjono Humardani, dan Yoga Sugama. Mereka adalah pemikir dan praktisi cerdas yang memainkan peran penting dalam membantunya membangun jaringan politik dan intelijen yang solid. Namun, Soeharto tidak pernah secara terbuka menunjukkan ketergantungannya pada mereka dan lebih memilih untuk bermain di balik layar sambil merencanakan langkah-langkah besar yang tidak terlihat oleh banyak orang.
Menariknya, meskipun dianggap bodoh dan tidak berpengalaman, Soeharto mampu membalikkan pandangan ini setelah peristiwa G30S. Setelah situasi kacau selama G30S, Soeharto dengan cepat mengambil kendali penuh atas militer dan pemerintahan Indonesia. Tanpa menonjolkan diri di awal, ia mampu memanfaatkan ketegangan politik yang muncul di antara kubu militer dan mengambil kesempatan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan. Soeharto juga menunjukkan bagaimana ingatannya dalam menghadapi tekanan dan kecerdasannya dalam menjaga sikap dapat membawa seseorang menuju kemenangan bahkan dalam situasi yang paling tidak menguntungkan. Ia menunjukkan bahwa dalam dunia politik tampaknya bukan hanya keberanian atau kecerdasan dalam taktik perang yang menentukan, tetapi kemampuan untuk menyembunyikan ambisi pribadi dan menghitung langkah-langkah politik dengan hati-hati. Pandangan terhadap Soeharto sebagai jenderal bodoh dari kubu Jenderal Yani dan beberapa perwira lainnya menunjukkan betapa sulitnya menilai seseorang hanya dari apa yang terlihat di permukaan. Soeharto, meskipun dikelilingi oleh orang-orang cerdas dan berpengalaman, mampu menyembunyikan ambisinya dan membuat keputusan yang tepat pada waktu yang tepat.
Keberhasilan Soeharto dalam memenangkan perebutan kekuasaan selama periode G30S adalah bukti jelas bahwa dalam dunia politik, ketekunan, kecerdasan tersembunyi, dan kemampuan menyembunyikan ambisi dapat menjadi faktor penentu keberhasilan. Salah satu kualitas yang membedakan Jenderal Soeharto dari banyak tokoh militer lainnya saat itu adalah kemampuannya menyembunyikan ketidaksukaan, ambisi, dan perasaannya. Berbeda dengan Jenderal Yani yang secara terbuka menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Jenderal Nasution, Soeharto memiliki pendekatan yang sangat berbeda dalam menangani ketegangan internal di dalam tubuh TNI. Tidak hanya mampu menyembunyikan perasaan negatifnya terhadap lawan-lawannya, Soeharto juga sangat terampil dalam menjaga jarak dan merencanakan strateginya dengan sangat hati-hati untuk menghindari konflik yang dapat merugikannya.
Ketika ketegangan muncul antara kelompok-kelompok di dalam TNI, Soeharto memilih untuk tidak terbawa arus. Bahkan, meskipun ia mungkin tahu bahwa dirinya dianggap sebagai sosok yang lemah dan diejek oleh kubu Jenderal Yani, Soeharto tidak pernah menanggapi hal ini secara terbuka. Ia tidak melibatkan diri dalam perdebatan yang dapat merusak citranya atau memperburuk hubungannya dengan pihak-pihak yang lebih kuat. Dengan menjaga ketenangan, Soeharto membangun citra diri sebagai seorang pemimpin yang tidak emosional dan tidak mudah terpancing. Hal ini sangat berbeda dengan Jenderal Yani yang cenderung secara terbuka mengungkapkan kebenciannya terhadap lawan-lawan politiknya. Soeharto sangat memahami bahwa dalam dunia militer dan politik, menunjukkan ketidaksukaan atau kebencian dapat menambah ketegangan yang sudah ada. Oleh karena itu, ia memilih untuk menghindari konflik terbuka dan mengalihkan fokusnya pada peluang yang lebih besar. Dalam banyak hal, Soeharto membiarkan kritik dan ejekan yang ditujukan kepadanya mengalir begitu saja tanpa memberikan reaksi yang berarti.
Selain kemampuannya menyembunyikan perasaannya, Soeharto juga dikenal karena kerendahan hatinya dan pengendalian diri yang luar biasa. Ia tidak membiarkan egonya mengambil alih dalam situasi yang tegang. Soeharto sangat tahu bahwa dalam situasi yang penuh persaingan dan rivalitas, menunjukkan kesombongan atau sikap arogan dapat menjadi bumerang dan membuatnya lebih rentan terhadap serangan dari lawan-lawannya. Dengan bersikap rendah hati, Soeharto mampu menjaga perdamaian di dalam TNI dan meminimalkan konflik internal yang dapat melemahkan posisinya. Penting untuk dicatat bahwa meskipun dianggap bodoh atau lemah oleh kubu Yani, Soeharto tidak pernah membiarkan hal ini memengaruhi sikap atau tindakannya. Ia memilih untuk bekerja di balik layar, merencanakan langkah-langkah yang akan menguntungkannya di masa depan. Sikap ini tidak hanya mencerminkan kebijaksanaannya dalam mengelola konflik, tetapi juga menunjukkan kedewasaan emosional yang sangat jarang ditemukan pada tokoh militer lain yang cenderung lebih terbuka dalam mengungkapkan ambisi dan perasaan mereka.
Soeharto juga sangat berhati-hati dalam menanggapi ketegangan dengan Jenderal Nasution, salah satu tokoh militer paling berpengaruh saat itu. Meskipun Nasution adalah salah satu tokoh yang dapat dianggap sebagai pesaing potensial bagi Soeharto dalam perebutan kekuasaan, Soeharto tidak menunjukkan kebencian atau kecemburuan terhadap Nasution. Sebaliknya, ia memilih untuk tidak memperburuk hubungan dengan Nasution dan berusaha menghindari konfrontasi langsung. Dalam banyak hal, Soeharto tahu bahwa memperburuk hubungan dengan Nasution dapat melemahkan posisi politiknya dan membuka peluang bagi pihak lain untuk menyerangnya. Sikap ini menunjukkan kecerdasan politik Soeharto yang tajam karena ia sangat memahami pentingnya menjaga hubungan baik dengan orang-orang yang berada di posisi strategis. Meskipun ia tahu bahwa Nasution adalah tokoh yang sangat berpengaruh di militer, Soeharto tidak terburu-buru untuk merebut posisi tersebut dengan secara terbuka menyingkirkan Nasution atau lawan politik lainnya. Sebaliknya, ia memilih untuk membiarkan situasi berkembang dengan sendirinya, mengetahui bahwa peluang akan datang pada waktu yang tepat.
Kemampuan Soeharto mengelola ketegangan politik ini tidak hanya terlihat dalam hubungannya dengan Nasution, tetapi juga dengan berbagai pihak lain yang terlibat dalam perebutan kekuasaan. Soeharto selalu memilih untuk tidak terlibat dalam konflik yang berisiko menjauhkannya dari kekuasaan. Ia memahami bahwa dalam politik, kemenangan seringkali datang dengan cara yang tidak langsung terlihat. Dan Soeharto dengan hati-hati memanfaatkan setiap peluang tanpa menimbulkan kerusakan yang dapat menghalangi jalannya. Bahkan di saat-saat paling kritis ketika G30S meletus dan TNI terpecah belah, Soeharto mampu menjaga jarak dari kekacauan yang terjadi. Ia tahu kapan harus bertindak dan kapan harus tetap diam, mengamati, dan merencanakan langkah selanjutnya. Dengan cara ini, ia berhasil menghindari banyak jebakan yang bisa menghancurkan karir politiknya. Dan sebaliknya, ia berhasil keluar sebagai pemenang dalam pertempuran politik yang penuh intrik.
Sikap Soeharto yang mampu menyembunyikan ketidaksukaannya, mengendalikan diri, dan menjaga jarak dari lawan-lawan politiknya, mencerminkan kedalaman pemikirannya dan kecerdasan politik yang luar biasa. Dalam dunia militer yang penuh dengan persaingan dan ambisi, Soeharto berhasil mengelola ketegangan dengan sangat hati-hati tanpa menunjukkan perasaan yang dapat merusak posisinya. Ia tahu bahwa tidak semua perasaan perlu ditunjukkan dan terkadang kesabaran dan kemampuan menyembunyikan ambisi adalah kunci untuk meraih kemenangan yang lebih besar. Ketika peristiwa G30S terjadi pada tahun 1965, banyak yang meragukan kemampuan Jenderal Soeharto untuk menangani situasi yang tegang dan penuh krisis. Sebelumnya, ia bahkan hampir dipecat oleh Jenderal Nasution karena dianggap tidak kompeten dalam kepemimpinan militer. Namun, sejarah kemudian mencatat bahwa sosok yang awalnya diremehkan ini justru mampu mengubah arah sejarah Indonesia. Dalam sebuah putaran peristiwa yang tak terduga, Soeharto berhasil memanfaatkan ketidakpastian periode G30S untuk mengambil alih kendali pemerintahan dan lebih jauh lagi mendirikan Orde Baru, sebuah era yang menandai perubahan besar dalam politik dan kehidupan sosial Indonesia.
Awalnya, Soeharto dilihat sebagai sosok yang tidak kompeten dalam berbagai aspek. Sementara Ali adalah tokoh terkemuka dalam struktur komando militer, Soeharto seringkali dilihat sebagai jenderal yang kurang cerdas, bahkan hampir diberhentikan dari Dinas Militer oleh Jenderal Nasution. Namun, G30S memberikan kesempatan yang tak terduga bagi Soeharto untuk menunjukkan kecerdasan politiknya. Di tengah kekacauan yang disebabkan oleh peristiwa tersebut, Soeharto dengan cepat mengambil kendali atas situasi yang semakin tidak stabil. Ia memanfaatkan ketidakpastian peristiwa tersebut untuk memperkuat posisinya di dalam militer dan pemerintahan. Dalam situasi kacau di mana kepercayaan pada pemerintahan Soekarno dan TNI mulai menurun, Soeharto dengan hati-hati mengkonsolidasikan kekuasaan. Meskipun pada saat itu ada banyak pihak yang lebih berpengaruh termasuk Jenderal Nasution, Soeharto mampu menunggu dan memanfaatkan kelemahan yang ada. Sementara banyak jenderal lain terlibat dalam konflik internal, Soeharto memilih untuk menghindari konfrontasi terbuka, tetap rendah hati, dan menggunakan kecerdasan politiknya untuk merencanakan langkah-langkah yang akan menguntungkannya dalam jangka panjang.
Setelah G30S, Indonesia berada dalam situasi yang sangat rapuh. Banyak pihak merasa kehilangan arah dan kepemimpinan yang jelas. Dalam situasi ini, Soeharto muncul sebagai sosok yang tidak hanya memiliki kemampuan militer, tetapi juga kecerdasan untuk menangani masalah politik yang kompleks. Ia berhasil meyakinkan berbagai pihak bahwa ia adalah orang yang tepat untuk menjaga stabilitas negara. Pada tanggal 1 Oktober 1965, Soeharto dengan tegas memimpin operasi militer untuk menangani insiden G30S, bahkan tanpa arahan resmi dari Presiden Soekarno pada awalnya. Dengan mengembangkan strategi yang matang, Soeharto mulai memperkuat pengaruhnya baik di kalangan militer maupun di antara elit politik Indonesia. Soeharto tidak hanya mengandalkan kekuatan militer untuk mengambil alih pemerintahan, tetapi juga dengan hati-hati menghitung situasi politik yang berkembang. Ia dengan bijak memanfaatkan keretakan di dalam tubuh TNI dan ketidakpastian yang mengelilingi pemerintahan Soekarno. Sementara Soeharto mengendalikan operasi militer, ia juga berhasil menjalin hubungan dengan berbagai kelompok yang memiliki pengaruh besar baik di dalam maupun di luar pemerintahan. Keberhasilan Soeharto dalam menangani krisis memberinya kepercayaan dari militer yang kemudian memberinya legitimasi untuk secara resmi mengambil alih kendali pemerintahan.
Setelah berhasil mengatasi G30S dan merebut kendali dari Presiden Soekarno, Soeharto tidak hanya berhenti pada pencapaian kekuasaan militer. Ia dengan cerdik terus mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan membangun orde baru yang berfokus pada pengendalian politik, ekonomi, dan masyarakat Indonesia. Dalam tahap ini, Soeharto berhasil menciptakan sistem pemerintahan yang didominasi oleh militer dengan dirinya sebagai pemimpin utama. Melalui mekanisme yang sangat terstruktur, ia memastikan bahwa dirinya tetap menjadi penguasa yang tak tergoyahkan dalam sistem baru ini. Namun, kendalinya tidak bergantung hanya pada kekuatan militer. Soeharto sangat bijaksana memahami pentingnya mendapatkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat termasuk kelompok Islam, kelompok nasionalis, dan dunia bisnis. Ia berhasil memainkan strategi koalisi yang cerdas di mana setiap elemen masyarakat merasa memiliki peran penting dalam Orde Baru. Soeharto juga mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan melenyapkan lawan-lawan politik melalui cara-cara yang terkadang sangat brutal, termasuk pembunuhan massal terhadap anggota dan pendukung PKI yang dituduh terlibat dalam G30S. Ini adalah langkah yang sangat strategis bagi Soeharto untuk memadamkan potensi ancaman terhadap kekuasaannya di masa depan.
Soeharto tidak hanya berhasil meraih kekuasaan, tetapi ia juga berhasil mempertahankan kekuasaannya selama lebih dari 3 dekade. Keberhasilan Soeharto dalam mempertahankan kekuasaannya tidak terlepas dari kemampuannya mengendalikan situasi politik Indonesia yang penuh dengan ketegangan. Ia berhasil menciptakan stabilitas yang dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi Indonesia pada saat itu. Meskipun dengan biaya yang sangat tinggi termasuk pembatasan kebebasan politik dan penindasan terhadap oposisi selama lebih dari 30 tahun, Soeharto tidak hanya mengendalikan pemerintahan tetapi juga membangun jaringan kekuasaan yang luas baik di militer, dunia bisnis dan sektor pemerintahan lainnya. Ia menciptakan sistem yang memungkinkannya mengendalikan hampir setiap aspek kehidupan politik Indonesia, menjaga loyalitas elit politik, dan menghindari pemberontakan skala besar yang bisa menggoyahkan kekuasaannya. Keberhasilan Soeharto dalam mempertahankan kekuasaan begitu lama adalah bukti yang jelas dari kecerdasan politiknya yang luar biasa.
Kesuksesan Soeharto pasca G30S menunjukkan betapa hebatnya perang kecerdasan politik, kemampuan militer, dan kesabaran dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan. Meskipun awalnya diremehkan dan dianggap tidak kompeten, Soeharto membuktikan bahwa ia adalah pemimpin yang mampu mengelola situasi yang sangat kompleks. Dengan memanfaatkan ketidakpastian setelah G30S, Soeharto berhasil meraih kekuasaan dan mengkonsolidasikannya dalam Orde Baru yang menjadi landasan bagi kebijakan dan arah politik Indonesia selama lebih dari 3 dekade. Kisah Soeharto mengajarkan kita bahwa dalam politik, apa yang tampak lemah belum tentu lemah. Terkadang justru orang-orang yang dianggap biasa saja yang memiliki strategi paling brilian. Tapi apakah ini kecerdasan atau kelicikan? Bagaimana menurut Anda? Jangan lupa untuk like, subscribe, dan bagikan pendapat Anda di kolom komentar. Sampai jumpa di video berikutnya.
Artikel Diperbarui pada: 24 May 2025Kontributor: Syauqi Wiryahasana
Model: Haifa Manik Intani