
Kegiatan tersebut dihadiri Sujiwo Tejo, Dr. Abdul Ghofur Maimoen, Drs. Ilyas M.Ag, dan Anis Sholeh Ba'asyin. Di akun Facebooknya, Anis Sholeh Ba'asyin yang Pengurus Pusat Lesbumi ini menuliskan kegiatan tersebut berikut ini: Di pengadilan akhirat, tak ada lembaga perwakilan. Semua akan bicara untuk dirinya sendiri. Bahkan mulut manusia pun dikunci untuk bicara mewakili organ-organ lain. Dia hanya boleh bicara untuk mewakili posisinya sendiri sebagai salah satu organ; sejajar dengan organ lain yang juga akan bicara dan memberi kesaksiannya sendiri. Masalahnya: di dunia ini mulut sudah begitu digdaya sebagai lembaga perwakilan. Dia berkuasa dan punya hak prerogatif untuk bicara apa saja mewakili dan mengatas namakan organ-organ lain. Baik disuruh atau tidak, dia bisa bicara mewakili kepala, tangan, kaki, perut atau organ-organ lain yang ada di tubuh manusia, yang memang dari sononya tidak punya kemampuan untuk menyuarakan kepentingannya sendiri. Tapi celakanya, mulut malah tidak berkuasa atas dirinya sendiri. Posisi uniknya sebagai organ yang mampu jadi saluran munculnya bunyi-bunyi simbolik yang dikenal sebagai bahasa; telah menyebabkan perannya sering dimanipulasi menjadi sekedar corong atau public relation bagi kekuatan lain yang lebih berkuasa atas dirinya. Meski demikian, justru peran terakhir inilah yang menempatkan posisi mulut menjadi sangat sentral sekaligus rentan dalam peradaban. Karena mulut bisa sekaligus mengangkat derajat atau sebaliknya menghinakan. Bisa menjadi juru bicara kebenaran, tapi bisa juga jadi juru bicara kejahatan. Bisa mewakili Tuhan, tapi sekaligus bisa mewakili Iblis. Ketika kaki terantuk batu, mulut mewakilinya mengungkapkan kesakitan. Tapi bisa juga: mulut berteriak-teriak soal kelaparan seolah sedang mewakili perut yang sebenarnya tidak sedang lapar. Ini karena di satu sisi kerja mulut tergantung pada otak, sementara di sisi lain kerja otak bisa didominasi nafsu. Ketika mulut menyuarakan kesakitan, dia bekerja atas sistem koordinasi sistem syaraf di otak yang terpicu oleh antukan batu di kaki. Dan, dalam hal ini dia jujur. Tapi ketika dia berteriak soal kelaparan, dia bekerja karena tombol koordinasi syaraf di otak telah dikacaukan dengan sinyal palsu dari nafsu. Sinyal palsu yang sengaja direkayasa nafsu untuk merebut tujuannya sendiri. Dalam hal ini peran mulut jadi manipulatif. Disinilah masalah dimulai: manusia cenderung bernafsu menciptakan dalil dan dalih untuk menilai perbuatannya sendiri, dan ini telah menempatkan mulut sebagai pembela paling utama dan paling ulung bagi manusia. Sedikit sekali orang yang berani melepaskan perbuatannya untuk dinilai oleh sejarah dan Tuhan, tanpa perlu pusing-pusing memutar mulut untuk membuat penilaiannya sendiri. Kebanyakan orang lebih suka ‘mengarang’ penilaian bagi tindakan yang sudah maupun yang akan dilakukannya. Tentu saja, penilaian ini dimaksud untuk mengkonstruksi citra artifisial yang bisa memperkecil rasa bersalah atau -kalau perlu- malah mencitrakan kebenaran. Bayangkan, dengan mulutnya manusia bisa terus memilih untuk menyebut seribu satu dalih yang kira-kira akan mendukung ‘kebenaran’ tindakannya. Tapi di sisi lain, sengaja menyembunyikan satu alasan pokok yang sebenarnya menjadi alasan utamanya melakukan perbuatan tersebut. Tak heran bila mulut telah berubah menjadi agama utama manusia. Orang merasa cukup menempatkan agama di mulutnya, lantas merasa aman dari semua substansinya. Orang sudah merasa alim, bila mulutnya sudah fasih dengan dalil-dalil. Orang sudah merasa punya kapling di surga, bila di tiap kesempatan bisa memamerkan kelihaiannya menyebut nama Tuhan. Orang sudah merasa pemimpin, bila sudah ahli merekayasa dukungan publik. Lepas dari mulut, semua ini tak berjejak dalam kenyataan. Fasihnya orang akan dalil tak menghalanginya untuk terus menyumbang kerusakan di semesta. Lihainya orang menyebut nama Tuhan tak menumbuhkan kasih sayang pada saudara-saudaranya yang digayang penderitaan. Keahlian merekayasa tak pernah mendorong orang cancut taliwondho menyelamatkan rakyat yang mulai kehilangan harapan terapung di samudra bencana. Nah, dalam konteks ini bisa dipahami alasan ‘pembungkaman’ mulut dalam pengadilan akhirat. Sebagai lembaga perwakilan, mulut sering menjadi alat apologi, bahkan untuk sesuatu yang jelas-jelas disadari sebagai kejahatan. Jadi, tutup saja mulutmu! Mulutmu harimaumu! Bencana yang beruntun-runtun ini tak lagi bisa dibela oleh kecanggihan mulut memutar kata! Perdaban mulutmu sedang ditampar Tuhan! Bagi yang tidak bisa hadir langsung pada kegiatan tersebut, bisa disimak pada siaran tunda: PAS 101,0 FM Senin 23 November 2015 jam 21.00 WIB. Streaming: www.pasfmpati.com dan www.paspati.co.id . Siaran Tunda: ASWAJA TV Setiap Ahad jam 21.00 – 24.00 WIB. Siaran Tunda: TV9 Setiap Selasa jam 22.00 – 24.00 WIB. (Abdullah Alawi) Sumber: NU Online