Pemuda NU Desak Penggunaan Metode Ahwa
Pemuda Nahdlatul Ulama meminta konsep Ahlul Halli wal Aqdi (Ahwa) digunakan dalam Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama di Jombang Agustus mendatang. Ahlul halli wal aqdi dipandang sebagai konsep sempurna untuk mengembalikan kehormatan ulama dan memelihara Muktamar dalam rel yang lurus sesuai khittah NU.
Supaya tidak ada lagi kesan kyai “diadu” dengan kyai lain dan membawa resiko konflik laten dan terbuka seusai Muktamar. Lebih-lebih jika terjadi mobilisasi dukungan dengan segala cara.
Hal tesebut dikatakan oleh pemuda Nahdlatul Ulama yang mengadakan Musyawaroh Kubro 2015 “Merembug Jam’iyyah, Bangsa, Dunia” di Masjid Pathok Negara, Dusun Mlangi, Desa Nogotirto, Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman, Jumat-Sabtu (22-23/5).
Salah satu pendiri acara, Nur Khalik Ridwan mengatakan, konsep Ahlul halli wal aqdi yang telah dibahas matang dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama di Cirebon tahun 2012 dan di Jakarta tahun 2014, harus digunakan dalam Muktamar 2015.
Sebab, menurutnya, Ahlul halli wal aqdi adalah model sempurna untuk menata organisasi NU. Apalagi, Ahlul halli wal aqdi telah dipraktikkan di muktamar-muktamar Nahdlatul Ulama di masa awal perkembangannya.
“Konsep Ahlul halli wal aqdi harus digunakan lagi di NU. Harus dimulai dari Muktamar 2015 ini,” ujar pegiat Jamaah Nahdliyin Yogyakarta (JNY) ini.
Ia meminta segenap kyai struktural dan mendorong penetapan konsep yang mendorong supremasi ulama tersebut. Dukungan atas pemakaian Ahwa, sambungnya, harus menjadi kesepakatan segenap ulama dan warga NU.
“Penetapan Ahlul halli wal aqdi dalam muktamar harus kita dorong menjadi suara bulat. Harus menjadi kesadaran bersama segenap kyai dan warga Nahdlatul Ulama,” tandasnya.
Peserta Musyawaroh Kubro Anak Muda Nahdlatul Ulama 2015 asal Depok, Jawa Barat, Imam Malik merasa gusar risih mendengar ada sebagian pengurus Nahdlatul Ulama di suatu daerah menyatakan menolak penetapan konsep Ahlul halli wal aqdi dalam Muktamar 2015.
Pemuda NU, kata dia, akan melakukan segala upaya supaya konsep sempurna tersebut tidak dijegal di tengah jalan. Jika nanti ada yang menolak penetapan Ahwa, sehingga pihak yang menolak tersebut perlu diberi sanksi sosial dan sanksi organisasi.
“Saya risih ada oknum pengurus Nahdlatul Ulama di suatu daerah di Indonesia menyatakan menolak konsep Ahwa. Itu sungguh menyedihkan. Kami merekomendasikan supaya pelaku penolakan itu diberi sanski sosial atau dita’zir secara organisasi,” ujarnya.
Ia merasa lelah melihat suasana perebutan kepemimpinan Nahdlatul Ulama di setiap Muktamar. Sehingga sekarang saatnya kembali ke model musyawarah mufakat.
“Kehormatan ulama harus dijaga. Jangan terus-menerus melakukan model pemungutan suara,” ujarnya.
Voting, lanjut Imam Malik, diharapkan jangan terjadi dalam pemilihan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU, apalagi dalam pemilihan Rais Am Syuriyah.
“Kami sudah membuat kesepakatan dalam beberapa pertemuan, Muktamar Nahdlatul Ulama besok perlu diupayakan tidak ada voting. Lebih-lebih untuk Rais Am Syuriyah, harus haram melakukan voting,” tegas dia.
Hal serupa dikatakan Ahmad Majidun. Pegiat Gerakan Pemuda Ansor asal Kabupaten Magelang ini memberikan usulan satu pasal dalam peraturan tata tertib Muktamar.
Yaitu pasal yang mengatur siapa saja yang terbukti melakukan politik uang dalam Muktamar Nahdlatul Ulama didiskualifikasi jika nanti terpilih.
“Di Muktamar Nahdlatul Ulama 2015 harus ada aturan yang tegas. Siapa saja yang terbukti melakukan politik uang dalam pemilihan, dikatakan batal alias tidak sah,” usulnya.
Musyawaroh Kubro ini disupport oleh Jamaah Nahdliyin Yogyakarta –JNY. Peserta adalah pemuda nahdliyin dari berbagai daerah di Indonesia, yang mayoritas pernah belajar di Yogyakarta. Dihadiri lebih dari 80-an orang. Termasuk Ketua PBNahdlatul Ulama M Imam Aziz dan putri almarhum Gus Dur Alissa Qotrunnada Munawwaroh Wahid.