PMII Selenggarakan Dialog Kebudayaan Dalam Rangka Harlah 52

  • Post author:
  • Post category:PMII

Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia mengadakan dialog kebudayaan dengan tema “Mempelopori Gerakan Kebudayaan Menuju Indonesia Berperadaban” pada Sabtu, (7/3) pukul 14.00 16.30, di aula gedung PBNU, Jakarta.

Didaulat sebagai pembicara pada kesempatan itu adalah wakil Sekretaris Jendral PBNU Abdul Mun’im DZ, Ketua FPKB DPR RI Marwan Ja’far dan Irfan Basri dari Mata Facifik.

Abdul Mun’im sebagai pembicara pertama, diminta moderator Abdullah Ali untuk menyampaikan pengaruh globalisasi terhadap budaya Indonesia. Tapi menurut Abdul Mun’im, seharusnya sekarang bukan lagi “pengaruh” tapi “tekanan”globalisasi terhadap budaya Indonesia.

“Karena globalisasi tidak terjadi secara alamiah, melainkan agenda besar. Bukan karena perkembangan teknologi komunikasi, bukan semaata-mata perkembangan teknologi transportasi, tapi ini adalah perkembangan kapitalisme global,” tegasnya.

Abdul Mun’im menambahkan, globalisasi itu didorong oleh WTO (World Trade Organization, red) yang mana organisasi ini, dunia dianggap satu matra, satu dimensi saja. Dengan demikian, diandaikan tidak ada sistem lain. Sistem yang ada, jadi subordinat dari sistem global ini.

“Sehingga kebudayaan mana pun yang tidak mengapresiasi globalisiasi diaggap tidak relevan dengan globalisasi. Dan ini tidak bersifat sukarela. Penandatanganan pemerintah kita pada GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) dan WTO itu kita dipaksa,” paparnya.

“Ditambah lagi dengan IMF, kita jadi pasiennya IMF. Sebenarnya kita menyerahkan kedaulatan negara kita kepada sistem global,” tukasnya.

Sementara itu, Marwan Jafar menyampaikan kebudayaan dalam konteks yang operasional, yaitu praktik kenegaraan kontemporer, Di bidang politik, ada indikasi-indikasi deparpolisasi (anti partai politik, red) padahal parpol adalah mutlak dalam demokrasi. Gerakan anti parpol adalah kebudayaan yang tidak sehat,” ungkapnya.

Di sisi lain, Irfan Basri menjelaskan pentingnya memahami bahasa dalam situasi sekarang ini. Menurut Irfan, kita sering abai memahami jenis bahasa apa yang beredar, “Kita perlu memiliki kecerdasan memahami bahasa akademik, bahasa intelejen dan bahasa media,” ujarnya.

Irfan mencontohkan, kalau diperhatikan bahasa media sekarang, itu berakar dari kepentingan politik ekonomi. Dengan demikian, media bukanlah sumber kebenaran. Tapi sayangnya, rakyat kita, baik kelas bawah maupun menengah, tertipu dalam hal ini.

Dialog kebudayaan yang dihadiri seratus orang peserta ini merupakan salah satu dari rangkaian peringatan hari lahir ke-52 PMII yang didirikan 17 April tahun 1960.