وَقَعَ السُؤَالُ عَمَّا يَقَعُ بِمِصْرِنَا كَثِيْرًا مِنَ الْمُنَادَاةِ مِنْ جَانِبِ السُّلْطَانِ بِقَطْعِ الطُّرُقَاتِ الْقَدْرَ الْفُلاَنِيَّ هَلْ ذَلِكَ جَائِزٌ وَهَلْ هُوَ مِنَ اْلأُمُوْرِ الَّتِيْ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهَا مَصْلَحَةٌ لِعَامَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ فَتَجِبُ عَلَى اْلإِمَامِ ثُمَّ مَيَاسِرِ الْمُسْلِمِيْنَ أَمْ لاَ؟ وَالْجَوَابُ، الظَّاهِرُ الْجَوَازُ بَلِ الْوُجُوْبُ حَيْثُ تَرَتَّبَ عَلَيْهِ مَصْلَحَةٌ. وَالظَّاهِرُ الْوُجُوْبُ عَلَى اْلإِمَامِ فَيَجِبُ عَلَيْهِ صَرْفُ أُجْرَةِ ذَلِكَ مِنْ أَمْوَالِ بَيْتِ الْمَالِ فَإِنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ ذَلِكَ لِظُلْمِ مُتَوَلِّيْهِ فَعَلَى مَيَاسِرِ الْمُسْلِمِيْنَ
Ada pertanyaan tentang kasus yang sering terjadi di kota kami, tentang orang-orang pemerintahan yang menyerukan pemotongan beberapa ruas jalan dengan ukuran tertentu: “Apakah hal itu boleh? Apakah termasuk perkara yang menghasilkan kemaslahatan umum umat Islam, maka wajib bagi penguasa, lalu orang-orang kaya muslim atau tidak?” Jawabannya adalah: “Yang jelas hal itu boleh, bahkan wajib bagi penguasa sekira menghasilkan kemaslahatan. Yang jelas kewajiban itu dibebankan bagi penguasa, dan ia wajib membayar biayanya dari bait al-mal. Bila hal itu tidak mudah dilakukan karena kezaliman pegawainya, maka biaya itu dibebankan pada orang-orang kaya muslim. Bahkan As-Syathibi dalam muwafaqatnya, secara jelas meqiyaskan alasan pendahuluan kepentingan umum ini dengan pelarangan pembelian barang dagangan sebelum sampai di pasar. Atau juga pelarangan melakukan perdagangan kepada penduduk pedalaman yang buta harga. Karena hal ini menjurus pada monopoli harga yang akan merugikan masyarakat (kepentingan umum).... ِلأَنَّ الْمَصَالِحَ الْعَامَّةَ مُقَدَّمَةٌ عَلَى الْمَصَالِحِ الْخَاصَّةِ بِدَلِيْلِ النَّهْيِ عَنْ تَلَقِّى السِّلَعِ وَعَنْ بَيْعِ الْحَاضِرِ لِلْبَادِيِّ وَاتِّفَاقِ السَّلَفِ عَلَى تَضْمِيْنِ الصُّنَّاعِ مَعَ أَنَّ اْلأَصْلَ فِيْهِمْ اْلأَمَانَةُ ... لَكِنْ بِحَيْثُ لاَ يَلْحَقُ الْخُصُوْصُ مَضَرَّةً
... sesungguhnya kepentingan umum itu didahulukan di atas kepentingan khusus, berdasarkan dalil pelarangan pembelian barang sebelum sampai pasar, penjualan barang orang kota ke orang pedalaman (yang buta harga) dan kesepakatan ulama salaf terhadap jaminan yang harus ditanggung oleh tukang (jika terjadi kerusakan) besertaan hukum dasar bagi mereka adalah amanah. ... sekiranya yang khusus itu tidak mengalami bahaya. Adapun mengenai kreteria kepentingan umum, para ulama fiqih terdahulu biasa menyebutkan tiga hal yaitu masjid, jalan umum dan kuburan. Seperti halnya yang dikemukakan oleh ad-dasuqi dalam Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala al-Syarh al-Kabir. Tentunya pemaknaan kepentingan umum ini akan terus berkembang hingga kini, termasuk di dalamnya adalah fasilitas umum misalnya taman kota, halte, dan juga WC umum.وَأَمَّا لَوْ أُجْبِرَ عَلَى الْبَيْعِ جَبْرًا حَلاَلاً كَانَ الْبَيْعُ لاَزِمًا كَجَبْرِهِ عَلَى بَيْعِ الدَّارِ لِتَوْسِعَةِ الْمَسْجِدِ أَوِ الطَّرِيْقِ أَوِ الْمَقْبَرَةِ
Adapun jika dipaksa untuk menjual dengan pemaksaan yang halal, maka penjualannya sah sebagaimana pemaksaan menjual tanah untuk perluasan mesjid, jalan umum atau kuburan. Begitu tingginya posisi kepentingan umum, sehingga jikalau terjadi pembangkangan terhadap keputusan pemerintah ini, fiqih tidak melarang adanya pemaksaan. Dengan catatan pihak pemerintah benar-benar amanah (tidak ada kepentingan pribadi atau golongan) dan dengan ganti rugi yang berdasar pada konsep ‘saling rela’. Begitulah yang dikemukakan oleh Musthafa Ahmad al-Zarqa dalam Madkhal al-Fiqh al-‘Ammوَالصُّوْرَةُ الثَّانِيَةُ هِيَ الاسْتِمْلاَكُ لِأَجْلِ مَصَالِحِ الْعَامَّةِ فَقَدْ أَجَازَ الشَّرْعُ اْلإِسْلاَمِيُّ اسْتِمْلاَكَ اْلأَرْضِ الْمُجَاوِرَةِ لِلْمَسْجِدِ جَبْرًا عَلَى أَصْحَابِهَا إِذَا امْتَنَعُوْا عَنْ بَيْعِهَا وَضَاقَ الْمَسْجِدُ بِأَهْلِهِ وَاحْتَاجَ إِلَيْهَا كَمَا أَجَازُوْا مِثْلَ ذَلِكَ لِأَجْلِ تَوْسِيْعِ الطَّرِيْقِ إِذَا دَعَتْ حَاجَةُ النَّاسِ إِلَى تَوْسِيْعِهِ وَذَلِكَ بِالْقِيْمَةِ الَّتِيْ يُسَاوِيْهَا الْعِقَارُ الْمُسْتَمْلَكُ حَتَّى لَقَدْ نَصَّ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ يَجُوْزُ أَنْ يُؤْخَذَ لِتَوْسِيْعِ الطَّرِيْقِ جَانِبٌ مِنَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ الْحَاجَةِ
Contoh kedua adalah pengambilan hak milik demi kepentingan umum. Agama Islam memperbolehkan pengambilan hak milik tanah yang berdampingan dengan mesjid secara paksa jika si pemilik enggan menjualnya. Sementara mesjid sudah sempit bagi para jamaahnya dan mereka membutuhkannya. Seperti halnya para ulama memperbolehkan kasus semacam itu untuk perluasan jalan umum ketika masyarakat sangat membutuhkannya, dengan memberikan (ganti rugi) harga yang sepadan dengan harga tanah yang diambil hak miliknya. Bahkan para fuqaha juga telah menjelaskan, bahwa boleh mengambil satu sisi dari mesjid untuk keperluan perluasan jalan umum ketika dibutuhkan. Sampai di sini jelas kiranya bahwa fiqih sangat memperhatikan kepentingan umum, adapun pemerintah sebagai pengayom dan pengambil kebijakanharuslah tetap berada dalam koridor obyektif. Sehingga kepentingan umum itu benar-benar berfungsi sebagai kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi atau golongan.