NU dan Blunder PMII

Muktamar NU ke-32 tahun lalu masih menyisakan pertanyaan mengenai pola kaderisasi dalam pengembangan organisasi. Dengan umur NU yang tidak muda lagi, perihal bagaimana menjaga NU untuk selalu istiqomah (konsisten) mengayomi adalah persoalan klasik. Mungkin, Rakormas NU di Krapyak Yogyakarta (28/3) akan menjadi jawaban atas langkah nyata NU dalam pengelolaan dan pengembangan kadernya secara jelas. Uneg-uneg pengurus NU pada dasarnya memiliki esensi yang sama: bagaimana merancang langkah taktis dalam optimalisasi peran sosial dan pengembangan organisasi. Rakornas Krapyak memunculkan rekomendasi kepada NU untuk membentuk organisasi mahasiswa NU!

NU dan “Germa”

Dalam konteks sayap gerakan NU, Ikatan Pelajar NU (IPNU), Ikatan Pelajar Puteri NU (IPPNU), Ansor, dan Fatayat merupakan organisasi yang diharapkan dapat mengayomi secara sektoral dan profesional, langsung dalam ranahnya masing-masing: pelajar (IPNU dan IPPNU) dan kepemudaannya (Ansor dan Fatayat). Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sendiri merupakan organisasi gerakan mahasiswa (“Germa”) NU yang didirikan pada 1960 dengan harapan untuk mampu menghimpun sumber daya intelektual para santri yang pada saat itu mulai berkembang pesat. Dengan makin meningkatnya akses terhadap pendidikan, kaum muda NU yang mencapai tingkat perguruan tinggi pun mulai meningkat pula jumlahnya.

Kemunculan PMII sebagai organisasi pergerakan kaum muda NU inilah yang pada perkembangannya sangat efektif dalam pengembangan wacana, tidak hanya bagi kalangan NU saja, melainkan turut berperan dalam perpetaan gerakan dan intelektualisme di Indonesia. Dalam konteks kelembagaan, PMII menjadi salah satu basis massa dan gudang para pemikir muda NU. PMII pada masa awal pasca pembentukannya merupakan wujud transformasi gerakan kultural NU yang berpusat pada santri-santri terpelajar.

Kelahiran PMII adalah suatu hal yang bisa dipandang dilematis. PMII lahir pasca NU melepaskan diri dengan Masyumi pada 1952, dan membentuk partai politik secara mandiri. Dengan pemisahan tersebut, pada Pemilu 1955 NU mendapatkan hasil signifikan. Keluarnya NU dari Masyumi ini pun sedikit banyak mempengaruhi komponen mahasiswa NU yang tadinya tergabung dalam himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang turut memisahkan diri karena merasa tidak diakomodasinya aspirasi dalam organisasi.

Dengan hubungan organisasionalnya dengan NU tersebut, PMII memperoleh citra positif di mata masyarakat sejak awal pembentukannya. Hal ini jelas berkaitan langsung dalam hal keanggotaan secara kuantitas; dimana mahasiswa yang merasa berhubungan dengan NU akan cenderung bergabung dengan PMII. PMII muncul sebagai salah satu Germa besar pada periode heroisme gerakan angkatan 1960-an. Dengan perkembangan kondisi sosial-politik dalam negeri, pemisahan PMII dari organisasi induknya (NU) secara struktur dirasa sebagai satu-satunya solusi rasional yang diputuskan pada Deklarasi Munarjati pada tahun 1972.

Pemisahan, pada saat itu didasari dengan pertimbangan bahwa di bawah organisasi yang pada saat itu melakukan aktivitas politik (Partai NU sejak 1952 dan Partai Persatuan Pembangunan sejak 1973), netralitas PMII sebagai gerakan mahasiswa dikhawatirkan akan bias politik. Walaupun kemudian NU kembali pada Khittah-nya untuk tidak berpolitik sejak Muktamar Situbondo 1984, PMII tetap dalam jalur independennya mengawal dinamika Indonesia dengan gerakan kultural-intelektual yang terpisah dari NU.

Redefinisi

Lalu, apakah rencana pembentukan organisasi kemahasiswaan NU tersebut menunjukkan kegagalan PMII sebagai harapan masyarakat NU? Pada dasarnya keterpisahan organisasi adalah dalam hal struktur. Secara kultur, tidak dapat dipungkiri bahwa PMII lahir dari rahim NU dan mayoritas tetap diisi oleh kaum muda NU.

Pasca Deklarasi Munarjati 1972 yang menetapkan keterpisahannya dengan NU, eksistensi PMII masih dapat cukup meyakinkan kalangan NU dengan masih sanggupnya mewadahi kaum muda NU dan dengan “jargon” santri-progresifnya. Para alumni PMII pasca masa baktinya pun turut mewarnai dinamika intelektualisme Indonesia pada era 1980-an, yang sering diidentikkan dengan periode tren kemunculan LSM/NGO’s. Namun, pasca 1998, PMII seakan-akan mulai kehilangan hal tersebut. Tidak dapat disangkal memang, pasca 1998 adalah masa di mana para kader angkatan awal PMII telah tergantikan dengan kader-kader baru dan kehilangan komunikasinya dengan NU; sebuah blunder PMII!

Pada kenyataannya, PMII hingga sekarang saja masih tetap tergantung pada nama NU dalam kaitannya dengan keanggotaan dan akses strategis. Bukan sesuatu yang mengherankan bahwa PBNU pada tahun lalu sampai mengadakan polling pendapat mengenai kebutuhan pembentukan organisasi kemahasiswaan NU.

Penurunan progresivitas organisasi dan tidak adanya revitalisasi hubungan dua organisasi ini tampak dengan tidak adanya program yang jelas dari Pengurus Besar (PB) PMII di beberapa periode kepengurusan terakhir. Tingkatan PB, praktiknya, tidak lagi memiliki andil yang signifikan baik dalam kaderisasi internal maupun prestasi pada level nasional. Kongres PMII ke-17 di Banjarbaru 9-16 Maret lalu menuai keprihatinan dengan kerusuhan sepanjang acara sebab kekecewaan Pengurus Cabang terhadap Pengurus Besar. Praktis, Kongres terjadi seperti sebelum-sebelumnya: sebatas pertarungan politik pemilihan pengurus baru tanpa perhatian terhadap adanya gagasan baru.

Dengan kondisi PMII, dapat dikatakan bahwa hingga saat ini NU telah bersabar dalam waktu lama dan tidak membentuk organisasi kemahasiswaannya untuk berharap kepada PMII. Namun, apapun tindakan PMII kali ini akan menimbulkan implikasi dilematis. Kenyataan bahwa Rakornas Krapyak telah merekomendasikan pembentukan organisasi kemahasiswaan, memunculkan dua hal bagi PMII. Pada satu sisi, keterpisahan secara organisasional membuat tidak adanya hak secara etika untuk mengomentari keputusan tersebut. Namun, di sisi lain, dengan latar belakang historis sebagai anak dari NU, keputusan Rakornas tersebut menunjukkan penilaian buruk atas kegagalan PMII menaungi kaum muda dan mahasiswa NU.

Terlepas dari kekecewaan NU, PMII harus dapat membenahi diri untuk ke depannya. Harapan PMII ke depan adalah pada tingkatan Cabang yang relatif masih memiliki fungsi konkrit. Dengan adanya latar belakang sejarah dengan NU, PMII seharusnya dapat memaknai independensi dalam konteks “interdependensi”; dengan pertimbangan bahwa NU telah meninggalkan aktivitas politiknya. Keterpisahan organisasional tidak dapat menafikan keterikatan kultural. Kepercayaan masyarakat NU terhadap PMII harus diimbangi dengan pembuktian prestasi organisasi. Dan jika prestasi nasional yang dituju, tidak hanya dengan NU, namun pembangunan jaringan dengan organisasi-organisasi lain pun kelak perlu diadakan dalam koridor prinsip organisasi.

* Sayfa Auliya Achidsti, Pimpinan Umum Jurnal Tradem

Scroll to Top