Saatnya merevisi UU ITE Sekarang!
Jakarta - Kasus Prita Mulyasari versus RS Omni Internasional dinilai menjadi momentum yang tepat untuk melakukan revisi terhadap UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Menurut pengamat telematika Heru Sutadi, jika keluhan yang disampaikan Prita terkait RS Omni itu benar adanya maka menjadi hal aneh jika Mahkamah Agung (MA) mengalahkan Prita.
"Ini saat yang tepat untuk merevisi UU No 11/2008 tentang ITE, khususnya sanksi pencemaran nama baik," kata Heru kepada detikINET, Selasa (12/7/2011).
Secara normatif, dikatakan Heru, pasal 27 ayat 3 UU ITE masih dibutuhkan, yang masalah adalah pasal 45 ayat 1. Dimana sanksinya adalah penjara maksimal 6 tahun dan atau denda Rp 1 miliar.
"Ini yang tampaknya bisa disalahgunakan untuk kemudian menahan seseorang. Dari kasus ini, satu hal yang pasti, adalah perlunya peningkatan pengetahuan dan kemampuan penegak hukum, termasuk MA, mengenai hal-hal berbasis teknologi informasi," tukas pria yang saat ini juga menjabat sebagai anggota komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia itu.
Revisi yang disarankan terkait sanksi yang tertera di pasal 45 ayat 1 dimana harus dipisahkan antara pencemaran nama baik/penghinaan, penyebaran pornografi/pelanggaran kesusilaan, perjudian elektronik maupun pemerasan.
Sementara khusus untuk pencemaran nama baik perlu diselaraskan dengan sanksi di KUHP. Lalu bagaimana dengan pasal 27 di UU ITE, apakah juga perlu direvisi?
"Secara normatif tidak perlu, karena KUHP juga bicara pencemaran nama baik/penghinaan, tapi yang berbasis TI kan dikhawatirkan tidak tercover. Sanksi hukumannya saja dikurangi. Tidak lebih tinggi dari KUHP," tukas Heru.
Seperti diketahui, dalam putusan kasasinya, MA menjatuhkan hukuman 6 bulan penjara kepada Prita, dengan hukuman percobaan selama 1 tahun, dalam kasus pencemaran nama baik RS Omni. Namun, Prita diputuskan tidak dipenjara. Sumber: DetikINET