Skip to content

emka.web.id

Menu
  • Home
  • Indeks Artikel
  • Tutorial
  • Tentang Kami
Menu

Hermawi Fransiskus Taslim "Menjadi Sapu yang Bersih" PKB

Posted on December 07, 2012 by Syauqi Wiryahasana
Perjumpaannya dengan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) secara tak disengaja telah meleburkan dirinya ke dalam aktivitas politik di negeri ini.
TASLIM adalah panggilan akrab Hermawi Fransiskus Taslim. Pribadinya amat dinamis. Ia adalah seorang yang gemar membaca, ada lebih kurang 6.500-an koleksi buku di perpustakaan pribadinya. Rabu sore, 19/1, ketika ditemui di rumahnya, Perumahan Alam Sutera, Serpong, Tangerang, ia memakai kaos oblong berwarna putih dan hanya bercelana pendek. Ia memang menyukai gaya kasual dalam berpakaian. Sesaat Taslim pun bercerita mengenai aktivitasnya Sehari-hari. Ia pulang kerja rata-rata pukul sebelas malam. Sebagai mantan aktivis, ia mengaku sudah terkena insomnia, tidak bisa tidur di bawah pukul satu pagi. “Tapi jam berapa pun saya tidur, jam enam pagi saya harus sudah bangun untuk doa bersama keluarga. Ini sudah menjadi tradisi sejak saya menikah,” kata Taslim yang kini menjabat Penasihat Presidium Pusat ISKA.

Aktivis politik

Intuisi politik Taslim amat tajam karena kekayaan ilmu dan keaktifannya dalam organisasi kemahasiswaan. Tatkala masih kuliah di Fakultas Hukum USU, ia aktif di Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Medan. Ia pun pernah menjabat Ketua PMKRI Cabang Medan (19851986). “Kami sering mengadakan diskusi tentang persoalan bangsa dan negara. Di PMKRI, kami dibina supaya bisa bersikap independen dalam berpikir tentang ideologi, politik, dan hukum,” kata advokat yang sekarang menjabat Ketua Forum Komunikasi Alumni PMKRI ini. Taslim menambahkan, PMKRI adalah tempatnya digembleng menjadi aktivis politik. Ia pun dididik agar mandiri, bisa berdebat dengan siapa saja, termasuk pastor. “Dalam konteks iman sebagai penganut Katolik, kita memang harus tunduk kepada hirarki. Tetapi, dalam politik kita bisa saja berbeda pendapat dengan mereka. Begitu juga Forum Komunikasi Alumni (FORKOMA) PMKRI yang sekarang saya pimpin, mempunyai peran signifikan dalam eksistensi saya hingga saat ini,” ungkapnya. Mengenai motivasinya masuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Taslim menegaskan bahwa tujuan berpolitik itu untuk kesejahteraan bersama dan tidak ada kaitannya dengan agama. Maka, menurutnya, tidak relevan jika harus mendirikan partai yang berbasis agama. “Logikanya, orang Nahdlatul Ulama (NU) yang banyak saja, membuka pintunya untuk kita supaya menjadi besar. Secara historis dalam pengalaman berbangsa, NU adalah kelompok Islam yang moderat dan kita memiliki kepentingan langsung dalam konteks kehidupan berbangsa untuk memperkuat kelompok ini.” Ia masuk PKB setelah melalui proses yang cukup panjang. Menurutnya, sosok K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai tokoh PKB merupakan seorang yang moderat dan pluralis. Maka, Gus Dur harus dibela. “Yang kita bela adalah visinya. Pada waktu itu ada ketakutan di kalangan kita bahwa Gus Dur tidak hanya turun dari kursi kepresidenan tapi juga “hilang” dari belantika politik. Setelah reformasi, kita seperti orang baru merdeka, semangat fundamentalisme dan primordialisme bisa berbahaya bagi kehidupan berbangsa kita.” Di PKB, sekarang sudah ada komposisi pengurus, yaitu 50 persen dari NU, 25 persen Muslim nonNU, dan 25 persen nonMuslim. Jadi, PKB terbuka untuk semua kalangan. Waktu ia masuk PKB, Harry Tjan Silalahi berpesan supaya dia harus menjadi luar biasa. “Kalau jadi biasa-biasa saja kamu tidak dipakai. Kalau hanya anak muda, NU mempunyai jutaan anak muda!” Nasihat itu ia jaga betul. Politik itu selalu menghitung kekuatan, kelompok, dan pengaruh. Di PKB, Taslim datang sebagai kelompok kecil, maka ia harus mempunyai identitas yang khas. “Meskipun sekarang agak memudar, kesan orang terhadap anak muda Katolik itu relatif lebih disiplin, jujur, bertanggung jawab, sedikit lebih cerdas, dan ini harus dibuktikan. Misalnya, saya datang lebih awal dan pulang paling akhir.” Bahkan, ia dipercaya memimpin beberapa dewan pengurus wilayah (caretaker), antara lain caretaker Lampung, Kalimantan Barat, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Tengah. “Waktu itu, Gus Dur mengatakan, kalau saya minta Hermawi Taslim memegang wilayah tersebut, saya yakin bahwa dia orang Katolik dan jujur. Saya mendengarnya langsung merinding,” kata Wakil Sekjen DPP PKB ini. [Hermawi F. Taslim dan istri bersama Gus Dur. (NN/Dokumen pribadi)] Sahabat Gus Dur Salah satu orang terdekat Presiden ke-4 RI, Almarhum K.H. Abdulrahman Wahid (Gus Dur) ini menuturkan, perkenalannya dengan Gus Dur pertama kali di NTT. Saat itu, Gus Dur ke NTT untuk urusan PKB. Ia bertemu tatkala transit. “Beliau bertanya, kamu orang apa? Saya menjawab saya dari Nias. Beliau mengajak saya bergabung dan mengatakan, tidak penting agamamu dan sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya agamamu.” Ia tak menyangka bisa mendampingi berbagai kegiatan Gus Dur dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini. Sebagai nonMuslim, ia bersyukur bahwa seorang tokoh NU membuka lebar pintu bagi dirinya. “Saya menolak dengan keras, kalau Gus Dur itu pelindung minoritas. Gus Dur itu selalu ingin mengedepankan konstitusi karena dalam konstitusi kita tidak dibedakan antara minoritas dan mayoritas. Beliau akan marah kalau orang ditindas karena minoritasnya. Mereka adalah warga negara Indonesia, mereka mempunyai hak yang sama,” tegas Taslim. Ia juga menyoroti konflik di tubuh PKB. Menurutnya, konflik antara Yenny dan Muhaimin ini adalah “perang saudara”. Unsur-unsur kepentingan publik di PKB sudah tereliminasi. Muhaimin terkenal dengan manajemen kelompokisme. Jadi, dia hanya menerima informasi dari kelompoknya saja. Sedangkan Yenny, kecerdasan intelektualnya tidak diikuti dengan pengalaman organisasi, sehingga caranya mengambil keputusan untuk partai seperti guru matematika. Semuanya serba eksak, sehingga banyak orang tidak at home. “Muktamar di Surabaya kemarin, saya diminta gabung lagi baik dari kubu Yenny dan Muhaimin, tapi saya mengatakan mau istirahat, sebab semangat yang mereka bawa adalah semangat ‘saling memakan’.” Akhirnya, ia mengajak umat Katolik untuk selalu membuka diri dan berdialog dengan kelompok-kelompok apa pun. Bahkan, dengan kelompok yang radikal sekalipun. Menurutnya, mengembalikan eksistensi orang Katolik dengan kekhasan tahun 1970an yang relatif lebih jujur, bisa muncul di tengah-tengah kerumunan yang ramai. “Kita harus menjadi sapu yang paling bersih di republik ini dengan cara, satu kata dengan perbuatan,” katanya.
Seedbacklink

Recent Posts

TENTANG EMKA.WEB>ID

EMKA.WEB.ID adalah blog seputar teknologi informasi, edukasi dan ke-NU-an yang hadir sejak tahun 2011. Kontak: kontak@emka.web.id.

©2024 emka.web.id Proudly powered by wpStatically