GP Ansor Aceh Dukung Wacana di Lhokseumawe
BANDA ACEH - Instruksi Walikota Lhokseumawe Suaidi Yahya terkait larangan duduk mengangkang sudah menjadi pembicaraan publik dunia. Sayangnya, sejumlah pihak yang ikut mengomentari wacana Suaidi Yahya tidak memberikan tanggapan yang konstruktif. Lebih buruk dari yang diharapkan, justru sejumlah pihak menjadikan isu ini sebagai bahan untuk menjatuhkan Aceh di mata dunia.
"Ada juga yang sekedar mencari sensasi dengan alasan logika yang terlalu dipaksakan. Entah itu kalangan politisi, pengamat sosial, orang-orang yang melebeli diri pejuang HAM dan gender. Padahal inikan baru tahapan sosialisasi. Belum jadi Perda. Harusnya kritik konstruktif yang diberikan," ujar Ketua GP Ansor Aceh Samsul B Ibrahim kepada wartawan, Selasa (8/1/2013).
Penting diketahui oleh semua pihak sambung Samsul, instruksi larangan duduk mengangkan di Kota Lhokseumawe masih berupa himbauan. Himbauan ini belum bersifat mengikat karena Pemerintah Kota Lhokseumawe masih membutuhkan masukan dari berbagai stakeholder masyarakat. Hal itu bermakna, Pemerintah Kota Lhokseumawe di bawah Pemerintahan Suaidi Yahya dinilai mengedepankan asas partisipatif sehingga dimungkinkan adanya ruang diskusi antara masyarakat dan pemerintah.
"Himbauan ini kan baru diedarkan 2 Januari 2013 kemarin. Dan himbauan ini akan berlaku untuk dua bulan ke depan. Artinya masih ada waktu untuk didiskusikan dan dikritisi secara kontruktif. Lah nyatanya beberapa pihak terlalu latah. Mereka justru menghujat, menjatuhkan, dan tidak menghargai usaha pemerintah," jelasnya.
Sebagaimana diketahui, hingga saat ini instruksi larangan duduk mengangkang tidak dijadikan masalah yang sangat besar oleh warga Lhokseumawe. Sebagaimana yang diharapkan Suaidi, kalangan PNS di jajaran pemerintah setempat sudah mulai menjadikan instruksi tersebut sebagai gaya hidup baru para perempuan Lhokseumawe.
Di luar itu, perempuan Lhokseumawe secara umum juga mulai memahami mengapa instruksi larangan duduk mengangkan dinilai penting direspon secara positif. "Kontra tidak mungkin tidak ada. Tapi perempuan Lhokseumawe secara umum tidak melihat ini masalah besar. Lagian siapa juga yang mau mengendarai kendaraan cepat-cepat sampai 120 km/jam. Jadi duduk menyamping itu dianggap baik buat mereka," ujar Samsul.
Apalagi sambungnya, instruksi itu juga merupakan rekomendasi kalangan ulama dan tokoh adat. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA), dan Majelis Adat Aceh (MAA) tidak mungkin mengeluarkan rekomendasi yang bertentangan baik dari hukum positif yang ada di Aceh, begitu juga dalam pendekatan hukum Islam.
Bagi GP Ansor Aceh sendiri, larangan duduk mengangkang bukanlah kebijakan yang merugikan masyarakat atau perempuan secara khusus. Instruksi ini akan memperkecil potensi kecelakaan lalu-lintas, karena pengendara sepeda motor tidak memungkinkan mempercepat laju kendaraan di atas standar kecepatan berlalu-lintas dalam perkotaan. Instruksi ini juga akan menjadi khazanah budaya masyarakat Aceh yang tidak akan dijumpai di tempat lain.
"Akan menjadi manifesto budaya. Nah kalau mau belajar soal bagaimana pemerintah menjaga perempuan, silahkan belajar di Lhokseumawe," pungkasnya sembari tersenyum.
via NU Online