Jika di masa lalu tantangan kebangsaan yang dihadapi NU sebagai komunitas muslim terbesar Indonesia dan dunia ini lebih pada ancaman kesatuan bangsa, masalah teritori, dan pertentangan ideologi, saat ini ancaman tersebut justru terletak pada dampak buruk sistem politik negara oligarkis dimana keputusan publik dilakukan secara koruptif dan kolutif oleh para elitnya.
Demokrasi yang kini didengung-dengungkan tak lain hanya alat permainan para elit dan kini berubah menjadi partokrasi di mana partai dengan para elitnya yang menguasai dan hanya berlangsung di lembaga-lembaga politik formal. Demokrasi bukan lagi kekuasaan dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, tapi kekuasaan dari partai, oleh partai, untuk partai. Situasi semacam itulah yang membuat banyak masalah di negeri dibiarkan, tak diselesaikan, penegakan hukum diabaikan, sedang masalah etika, moral, dan kejujuran tidak lagi jadi perhatian utama.
Demikian benang merah dalam Diskusi Publik bertajuk “NU dan Masa Depan Politik Indonesia” yang digelar Wahid Institute di Jakarta, Jumat siang (17/06). Menurut Yenny Zannuba Wahid, Ketua Umum PKBN, salah satu kasus terbaru yang membuat miris banyak pihak adalah kasus Siami, ibu dari Alifah Achmad Maulana atau Alif siswa SDN Gadel II Surabaya yang diduga dipaksa memberikan contekan saat ujian nasional.
Menurut puteri kedua almarhum KH. Abdurrahman Wahid itu, Siami adalah potret nyata problem warga NU yang seharusnya menjadi target dan kelompok yang diperjuangkan lembaga-lembaga NU dan partai-partai yang berbasis NU. “Siami itu jelas lahir dari komunitas NU, hidup dan tumbuh dalam ritual sebagaimana dipraktik warga NU pada umunya. Sayangnya, kita melihat ada jarak sikap dan reaksi NU terhadap kasus ini baik dari lembaga NU maupun partai yang konon dari NU,” katanya.
Dampak buruk sistem oligarkis itu juga dengan sangat mudah dilihat dalam dunia politik dan hukum belakangan ini. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfudh MD, yang juga hadir sebagai pembicara, memberi contoh. Tak sedikit anggota DPR, katanya, yang sudah terang benderang melanggar kode etika Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR), mula-mula kode etik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tidak masuk tanpa izin atau berkata bohong, misalnya, tapi tak satupun dari mereka yang mempersoalkan. “Kenapa? Karena semuanya sama. Kalau anda nindak saya, andapun kena,” kata Mahfud.
Situasi ini yang seringkali diungkapkan mantan politisi PKB ini sebagai politik saling kunci dan saling sandera. “Dan NU seharusnya bertindak bagaimana secara abesar-besaran mengkampayekan penegakan hukum dan melawan korupsi. Itu kalau negara ini mau selamat,” tambahnya lagi.
Carut-marutnya politik di Indonesia dewasa ini juga dirasakan Ketua Umum Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) Choirul Anam. Akibat perilaku partai politik seperti sekarang ini, terutama yang ditunjukkan partai-partai besar, kepercayaan masyarakat sudah sangat jatuh. “Partai itu sudah dianggap mafia. Jadi, kalau kita mau memperbaiki masyarakat susahnya bukan main. Karena partai ini dihancurkan oleh partai-partai besar yang berkuasa,” imbuhnya.
Senada dengan Mahfud, Yenny mengatakan NU harus serius merevitalisasi perannya dalam mengembangkan nilai-nilai moral, politik, keagamaan sehingga persoalan sekarang ini tak berlarut-larut terjadi. Gerakan itu perlu juga dilakukan oleh partai yang selama ini mengaku memperjuangkan warga NU. “Bagaimanapun kita harus mendobrak kejahatan tersebut. Kita berharap pemimpin formal dan informal di lingkungan NU bisa menjadi ujung tombak perlawanan ini,” tandasnya.
Harapan besar pada NU itu berdasar. Dalam sejarahnya NU pernah berhasil mencapai titik paling tinggi dalam politik Indonesia, ketika pemilu 1955 yang paling demokratis, yaitu menjadi pemenang Pemilu ketiga. Dalam sistem parlementer saat itu, tak ada pemerintahan yang merasa aman jika abai terhadap fraksi NU di parlemen. Saat itu, NU dengan leluasa menentukan sikap politiknya sendiri tanpa tergantung dengan pihak lain, termasuk sikap terhadap gerakan dan partai politik Islam lain sekali pun. NU berani bersikap tidak sejalan dengan gerakan dan partai Islam lain, demi ideologi dan kepentingan komunitas atau umatnya sendiri. Kesetiaan pada kepentingan umat yang menjadi tanggung jawab dan pada eksistensi negara menjadi dua ukuran utama NU dalam setiap sikap dan tindakan politik. NU juga terbukti menjadi penyelemat dan perekat bangsa di saat negeri ini di ambang perpecahan.
Selain ketiga tokoh di atas, isteri mendiang KH. Abdurrahman Wahid Shinta Nuriyah Wahid, mantan ketua PBNU KH. Hasyim Muzadi, Ketua Umum Muslimat NU Khofifah Indar-Parawansa, juga hadir sebagai pembicara dalam diksusi yang dihadiri 50-an orang tersebut. Wakil Ketua Umum Pengurus Harian Tanfiziyah PBNU As’ad Said Ali yang semula dijadualkan datang batal hadir karena agenda lain. Namun untuk peserta forum tersebut ia menulis catatan yang diberi tajuk NU dan Krisis Demokrasi Indonesia”. Istilah “partkorasi” dimunculkan dalam tulisannya ini. Sumber: Wahid Institute