Lauching LKP3A Fatayat NU Jawa Tengah
Semarang, NU Online
Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah meresmikan (launching) lembaga Lembaga Konsultasi, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (LKP3A) tepat pada Hari Anak Internasional 23 Juli.
Selain lembaga tersebut, juga meresmikan Yayasan Kesejahteraan Fatayat Yasmin dan Koperasi Yasmin. Launching dilaksanakan dalam acara Pelantikan dan Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) di Aula Masjid Agung Jawa Tengah, Jl Gajahraya Semarang, Jum’at-Sabtu (22-23/7) lalu.
Wakil Gubernur Jateng Rustriningsih hadir dalam acara tersebut. Bersama pejabat Muspida Jateng, Pimpinan Pusat Fatayat NU, pengurus PWNU Jateng, sejumlah tokoh dan utusan 37 cabang Fatayat NU se-Jateng.
Ketua PW Fatayat NU Jateng, Khizanatur Rohmah mengatakan, LKP3A didirikan sebagai respon atas semakin banyaknya kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia, dan Jawa Tengah pada khusunya.
“Anak-anak Indonesia semakin banyak yang menderita. Tak mendapat kasih sayang semestinya, kurang gizi, dan bahkan jadi korban eksploitasi serta kekerasan. Sungguh memprihatinkan,” tutur ibu tiga anak ini.
Direktur LKP3A Jawa Tengah Siti Maemunah yang juga Sekretaris IV PW Fatayat NU Jateng menambahkan, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat, pada 2007 ada 40.398.625 kasus pelanggaran hak anak yang terpantau di 30 provinsi. Jumlah itu melonjak drastis dari tahun sebelumnya yang mencapai 13.447.921 kasus.
Pada 2010 Komnas PA mendapat kekerasan pada anak sejumlah 2.339 kasus. Dari angka itu, 62 persennya adalah kekerasan seksual. Sedangkan pada 2011, dari Januari hingga April ada laporan 435 kasus, di mana 58 persennya adalah kekerasan seksual.
“Sangat memprihatinkan. Anak-anak kita banyak yang mengalami kekerasan seksual. Para ibu tentu sangat-sangat resah dengan semua ini,” tuturnya.
Lebih lanjut Maemunah memaparkan, Kentalnya budaya patriarki yang menjadikan relasi gender tidak seimbang semakin mengkebiri hak anak. Berdasarkan hasil penelitian Unika Atma Jaya, Kemensos, dan United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) tahun 1999, 30% perempuan yang terlibat dalam pelacuran di Indonesia berumur 18 tahun atau sekitar 40 ribu-70 ribu anak Indonesia yang menjadi korban eksploitasi seksual. Lalu penelitian IOM 2010 menyebutkan sepertiga dari korban trafficking di Indonesia adalah anak-anak. Lebih khusus lagi, mayoritas korban adalah anak perempuan.
“Yang paling banyak menjadi korban kekerasan adalah anak perempuan. Kekerasan fisik, psikis, eksploitasi ekonomi hingga eksploitasi seksual,” ujar dosen.
Magister lulusan IAIN Walisongo ini menyatakan, perlindungan hak anak seharusnya menjadi prioritas pemerintah, mengingat anak adalah tumpuan masa depan bangsa. Maka pemerintah harus segera membuat program perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi maupun eksploitasi.
Selama ini, terangnya, penyelesaian pelanggaran hak anak masih bersifat sektoral dan kurang melibatkan pemangku kepentingan lainnya, sehingga tidak pernah menyentuh pada akar persoalan.
Mestinya, demikian Maemunah, dibangun kerjasama berbagai elemen untuk menyelesaikan setiap pelanggaran hak anak. Tentunya harus ditunjang anggaran yang memadahi. Jadi, perspektif anak harus dijadikan pertimbangan dalam setiap aktifitas politik dan pembuatan kebijakan.
“Agenda nasional kita adalah memberantas kekerasan terhadap anak. Anak adalah tunas bangsa yang harus dijamin hak-haknya sebagai warga Negara. Terjaminnya hak anak merupakan investasi masa depan sebuah bangsa,” tandasnya.
Kemandiraian
Rakerwil yang diikuti 36 pimpinan cabang Fatayat NU se-Jateng berhasil membahas program khidmah (pengabdian) selama 5 tahun ke depan, dengan penekanan pada masalah kemandirian perempuan.
Visinya, perempuan khususnya warga NU bisa mandiri secara ekonomi dan politik, serta bisa mengurai masalah kemiskinan yang masih mendera kaum perempuan. Itulah sebabnya dalam Rakerwil tersebut dihadirkan motivator bisnis Bambang Nugroho untuk memberi suntikan semangat kepada hadirin.