Idul Fitri, Momentum untuk Membangun Indonesia
Jakarta, NU Online
Idul fitri berarti kembali ke fitrah yang suci, kembali kepada lembaran yang bersih. Semuanya dalam rangka meningkatkan takwa, membersihkan hati semata-mata hanyalah ibadah kepada Allah. Dinamakan hari raya bagi orang yang bertambah takwanya kepada Allah sebagai sarana hamlum minan nas.
Dalam konteks kebangsaan ini, Idul Fitri merupakan momentum tepat untuk membangun Indonesia ke depan yang lebih cerah dalama rangka membangun masyarakat yang damai dan sejahtara melalui ajaran Islam.
Pesan ini disampaikan oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam khutbah Idul Fitri yang diselenggarakan di halaman kantor PWNU DKI Jakarta, Rabu (31/8).
“Puasa dan Idul Fitri sudah seharusnya dijadikan sebagai momentum untuk membangun gerakan kebangkitan bangsa ke depan, bukan sekedar ritual atau banalitas tahunan bagi umat Islam,” katanya.
Dijelaskannya, puasa dan Idul Fitri seyogyanya mampu melahirkan persepsi dan kesadaran yang benar terhadap persoalan bangsa yang sesungguhnya. Persoalan yang dihadapi saat ini bukan sekedara masalah ekonomi sebagimana sering diungkap oleh para pengamat ekonomi, tetapi lebih mendasar dan luas.
“Keadaan ekonomi yang kurang baik di tengah-tengah negeri yang subur sesungguhnya merupakan akibat dari lemahnya iman, spiritualitas, keterbatasan ilmu dan akhlak yang disandangnya,” jelasnya.
Pentingnya aspek-aspek ini untuk membangun peradaban terlihat dari ayat al Qur’an yang pada fase awal diterima oleh Rasulullah adalah menyangkut ilmu pengetahuan, yakni membaca atau iqra, larangan berbuat angkara murka dan sebaliknya, membangun akhlak yang mulia “Addinu khusnul khuluk, bahwa agama identik dengan budi pekerti,” imbuhnya.
Puasa, kata Kang Said, harus mampu membangun optimisme yang kuat terhadap kehidupan hari esok yang lebih baik. Ia melihat munculnya rasa pesimisme yang berlebihan terhadap keadaan negeri ini dengan sebutan bangsa yang terpuruk, carut-marut, yang berada pada titik nadhir dan istilah lain yang kurang sedap yang bisa menjadikan mental bangsa ini menjadi inferior, tidak percaya diri dan mengharap uluran pertolongan bangsa lain. “Bangsa Indonesia sesungguhnya tidak semalang itu,” paparnya.
Bangsa Indonesia, tambahnya, memiliki tanah kepulauan yang luas lagi subur, aneka tamang serta penduduk berjumlah besar yang seharusnya disyukuri dan dijadikan modal untuk membangun kemakmuran bersama.
“Kita harus bangkit dan mampu melahirkan sikap solidaritas sosial atau kemauan berjuang dan berkorban yang tinggi,” ujarnya.
Membangun bangsa ini tidak akan berhasil jika tidak terdapa orang-orang yang rela berjuang dan berkorban. Sejarah kemerdekaan Indonesia menunjukkan ini, termasuk perjuangan para ulama.
“Rasulullah tiak akan mampu mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat madani yang damai dan berperadaban jika tidak ditempuh melalui perjaungan dan pengorbanan yang berat,” tegasnya.
Selaras dengan dinamika tersebut, pemerintah sudah seharusnya memegang teguh prinsip memperjuangkan kemakmuran dan kemaslahatan rakyat. Dalam kaidah fikih, dikatakan “tasharrful imam ala ro’yi manuthun bil maslahah”, bahkan kebijakan pemerintah wajib ditaati selama kebijakan tersebut berpijak pada kbijakan yang memberikan kebaikan bagi banyak rakyat. Imam Syafii menggambarkan hubungan rakyat dan penguasa ibarat hubungan wali dengan anak yatim.
Kiai Said juga berpesan, puasa dan Idul Fitri seharusnya berhasil melahirkan suasana batin yang pandai bersyukur, ikhlas, tawakal dan istikomah. Disinilah pentingnya memahami dan meresapi kata-kata bahwa agama adalah nasehat.