LAZIS NU Miliki Posisi Strategis
Jakarta, NU Online
Rais Syuriyah PBNU KH Masdar F Mas’udi menyatakan, LAZIS NU memiliki posisi yang sangat strategis dalam menjalin kehidupan dan keberlangsungan organisasi. Jika organisasi mengandalkan dana dari luar, nafasnya akan pendek karena orang luar tidak bisa diandalkan seterusnya, berbeda dengan warga sendiri.
Ia menggambarkan LAZIS NU sebagai Dirjen Pajaknya NU yang mengumpulkan dana dari warga NU yang kaya (muzakki) dan selanjutnya didistribusikan kepada yang kurang mampu (mustahik).
Pernyataan ini disampaikan ketika membuka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) LAZIS NU di gedung PBNU, Sabtu (21/5) yang diikuti oleh 33 propinsi dan sejumlah cabang NU di Jawa
Ia menegaskan, menurut fikih, pemberian zakat tidak boleh diberikan langsung, tetapi harus melalui amil. Aturan ini ada hikmahnya untuk menjaga kerahasiaan muzakki. Jika diberikan langsung, bisa timbul riya dan ada kecenderungan hubungan yang dominan dari pemberi zakat karena tak seimbang. Tak heran, para ulama yang wara’ menolak pemberian dari penguasa karena ia akan diposisikan dibawah dominasinya. Peran amil menghilangkan dominasi seperti itu.
“Makanya harus ada kepercayaan pada amil dari muzakki agar apa yang diamanatkan ini bisa sampai kepada mustahik,” tandasnya.
Karena kebutuhan akan pengorganisasian yang rapi dalam pengelolaan zakat ini, untuk menjaga amanah yang diberikan oleh muzakki, berorganisasi sifatnya fardhu ain sekaligus fardhu kifayah. “Tidak ada Islam tanpa jamaah, yaitu kumpulan orang yang terorganisir, bukan kerumunan,” terangnya.
Aspek organisasi yang kokoh ini bisa dilihat dari keterdataan warganya serta iuran yang diberikan oleh anggota, berapapun jumlahnya. Organisasi yang kokoh, bahkan registrasinya dilakukan dengan baiat.
“Meskipun iurannya seribu, tapi kalau dibayar secara istikomah dan mampu menjangkau semua wilayah, nilainya akan luar biasa. Karena itulah diperlukan manajemen yang kokoh sampai ke akar rumput,” paparnya.
Meskipun potensinya besar, Masdar juga menunjukkan beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh LAZIS NU. Pertama, sebagian besar warga NU adalah mustahik, sehingga berat kalau berharap semua warga NU berinfak, kecuali ada manajemen yang bisa menjangkau mereka semua, dengan nilai infak yang sangat kecil. Ia berpendapat, sesungguhnya kesederhanaan warga NU bukan halangan absolut untuk berinfak.
Faktor kedua, pengelolaan zakat ditingkatan akar rumput dilakukan oleh para kiai di kampung sehingga proses transformasinya akan banyak mengalami kendala jika ingin diorganisasikan oleh LAZIS NU. Namun hal ini tetap bisa dicarikan solusi dengan pendekatan win-win solution.
Tak kalah berat tantangannya adalah banyaknya lembaga zakat yang sudah mapan dan selama ini telah mengambil potensi zakat yang ada di masyarakat dan telah dipercaya oleh mereka. “Sebagai pendatang baru, kita harus berlari lebih cepat untuk bisa menyamai mereka,” tandasnya.
Dengan potensi dan tantangan yang harus dihadapi, Masdar tetap memberi semangat kepada LAZIS NU untuk terus berjuang. “Orang besar atau organisasi besar adalah mereka yang mampu menghadapi tantangan besar. NU adalah organisasi besar yang harus berani menghadapi tantangan besar. Dengan doa dan usaha yang lebih besar, kita akan mempu menghadapi ujian besar tersebut,” imbuhnya.