Perlunya Perluasaan Pemasaran Buku-buku NU

Surabaya, NU Online

Keluhan tentang maraknya buku-buku wahabi yang mengolok-olok amaliah warga NU telah seringkali terdengar dari para kiai. Bahkan di toko buku-toko buku besar, buku-buku itu seakan tidak segan lagi menempati ruang utama, tempat yang menjadi jujugan pembeli.

“Mereka itu terang-terangan mengejek orang NU,” tutur KH Muhyiddin Abdushshomad, Rais Syuriah PCNU Jember, suatu ketika.

Anehnya, buku penyeimbang dari NU malah sangat jarang muncul (kalau tidak mau disebut tidak ada). Sehingga perang opini di kalangan kaum intelektual NU sangat kalah. Karena tidak adanya perimbangan yang memadai itulah menjadikan NU telah sekian lama menjadi bulan-bulanan mereka.

“Kayaknya menelanjangi NU itu dirasa sudah biasa, mereka sudah tidak takut lagi,” Kiai Muhyiddin menyesalkan.

Sudah begitu, menurut Kiai Muhyiddin, kadang masih ada orang NU yang menganggap hal itu sebagai sesuatu yang biasa. Na’udzubillah.

Direktur Penerbit Khalista, A Makruf Asrori, membenarkan pernyataan Kiai Muhyiddin tersebut.

Menurut Makruf, dalam penjualan buku-buku keagamaan di Indonesia, buku-buku bernafas NU masih kalah dengan kelompok wahabi. Mereka dengan sangat agresif terus menyerang basis-basis NU, sementara NU belum dapat mengimbangi dengan baik.

“Ibaratnya, kita sekarang ini masih memperkuat pertahanan ke dalam, belum sampai ekspansi keluar, apalagi menyerang balik,” tutur Makruf kepada NU Online di kantornya, Jemur Wonosari, Surabaya, pada Kamis (8/9).

Lebih dari itu, menurut Makruf, pemasaran buku-buku berhaluan NU masih lebih banyak berifat konvensional, yakni di setiap acara NU. Ibaratnya, kalau mereka sudah bertengger mewah di rak toko, buku-buku NU masih dijual di emperan, belum masuk toko.  Persoalan utama adalah faktor dana, disamping jaringan pemasaran yang kuat.

“Dibutuhkan dana yang besar untuk dapat melangkah ke sana,” jelas alumnus Pesantren Lirboyo Kediri itu.

Kalau digambarkan perebutan pasar sekarang, mereka menguasai 70 persen, sedangkan kita masih 30 persen, padahal mayoritas masyarakat Indonesia adalah warga NU.

Di bagian lain, menurut lelaki asal Magelang itu, saat ini sudah banyak buku NU yang bagus, banyak kiai yang tulisannya berbobot dan banyak pula pesantren yang mewajibkan santrinya menerbitkan buku.

Buku-buku yang dihasilkan pun berkualitas. Namun persoalan utama adalah pada pemasaran. “Kurang ada tindak lanjut pada pemasaran, padahal itu juga sangat penting,” jelas Makruf.

Untuk itulah ia berharap agar mereka yang menerbitkan buku sekaligus memikirkan pemasaran buku tersebut hingga sampai ke tangan masyarakat. Syukur-syukur kalau dibentuk jaringan berskala nasional, sehingga ketika ada orang NU yang membutuhkan bisa dengan mudah mendapatkan buku-buku tersebut.

“Jaringan pemasaran ini kelihatan remeh, padahal sangat penting. Apalah arti buku yang bagus kalau tidak sampai ke tangan pembacanya,” jelas Wakil Ketua LTN PBNU  tersebut. M. Subhan.

Scroll to Top