BANDUNG - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) membahas konsep ahlul halli wal aqdi di Pondok Pesantren Al-Falah II, Nagrek, Bandung, Jawa Barat, Ahad (18/5). Diskusi tentang sistem rekrutmen pemimpin di NU ini digelar sebagai persiapan menjelang Munas dan Konbes NU 2014.
Forum yang dikemas dalam bentuk seminar tersebut diikuti sekitar 70 peserta dari unsur pengurus NU dan para kiai pondok pesantren di wilayah Jawa Barat. Turut berpartisipasi Katib Aam PBNU KH Malik Madani, Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin, Mustasyar PBNU KH Hafid Utsman, dan Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU KH Arwani Faisal.
Kiai Malik Madani menjelaskan, konsep ahlul halli wal aqdi diwacanakan kembali sebagai alternatif konsep cara pemilihan pemimpin di lingkungan NU setelah mencermati perjalanan muktamar dan konferensi di tingkat cabang dan wilayah selama ini.
“Pihak syuriyah mencatat adanya keprihatinan-keprihatinan. Ada seseuatu yang salah dalam sistem permusyawaratan kita ini, yang jika tidak kita tanggulangi akan merugikan jam’iyah NU dan Nahdliyin secara umum,” ujarnya saat membuka seminar.
Tidak Seperti Parpol
Menurut kiai kelahiran Madura ini, praktik pemilihan rais aam dan ketua umum NU yang diterapkan hingga kini tidak berbeda dari sistem rekrutmen ketua yang terjadi di partai politik. Melalui aturan satu orang satu suara (one man one vote), kemungkinan memilih calon terbaik (ashlah) yang tanpa kecurangan menjadi minim.
“Kita ini organisasi sosial keagamaan, bukan hizbun siyasiyun (partai politik), maka seharusnya kita menggunakan sistem rekrutmen pemimpin yang berbeda dengan hizbun siyasiyun,” tutur Kiai Malik.
Kiai Malik menggambarkan, ahlul halli wal aqdi dapat direalisasikan, misalnya, dengan cara meminta masing-masing dari 33 pengurus wilayah NU tiga usulan nama yang dipercaya memilih pemimpin, sehingga akan terkumpul 99 suara. Ke-99 usulan nama ini akan disaring kembali atas dasar suara terbanyak, hingga mengerucut kepada hanya sembilan nama saja.
“Nah, sembilan nama inilah, sesuai dengan jumlah bintang NU, yang akan menjadi ahlul ikhtiyar atau ahlul halli wal aqdi,” terangnya.
Sistem pemilihan yang mirip dengan ahlul halli wal aqdi, tambah Kiai Malik, pernah diterapkan pada Muktamar di Situbondo pada 1984. “Waktu itu ar-rijalul mukhtarun (sekelompok ulama yang terpilih) memilih KH Ahmad Shiddiq sebagai rais aam, dan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) sebagai ketua tanfidhiyah,” katanya.
Ahlul halli wal aqdi akan menjadi salah satu materi pembahasan dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU 2014 di Pesantren al-Hamid, Cilangkap, Jakarta Timur, 13-15 Juni mendatang. Kesepakatan dalam Munas-Konbes tersebut akan dibawa pada forum Muktamar Ke-33 NU, 2015 nanti. Sumber: NU Online