وَالسَّبَبُ الثَّالِثُ (الإِحْتِيَاجُ إِلَيْهِ) أَيْ إِلَى الْمَاءِ (لِعَطَشِ حَيَوَانٍ مُحْتَرَمٍ) وَهُوَ مَا يَحْرُمُ قَتْلُهُ --محمد نووي البنتاني، كاشفة السجا شرح سفينة النجا, مصر-بولاق، ص. 41
“Sebab yang ketika yang memperbolehkan tayammum adalah adanya kebutuhan terhadap air untuk minum makhluk yang dimuliakan, yaitu yang haram membunuhnya”. Sedang yang dimaksudkan dengan hayawan muhtaram adalah yang haram untuk dibunuh. Jadi manusia termasuk di dalamnya. Berangkat dari penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa dalam kondisi seseorang berada di tengah hutan, misalnya, dan jika memilih menggunakan air tersebut untuk wudlu maka ia akan kehausan karena ketiadaan air yang ada disekitarnya, maka yang harus dilakukan adalah melakukan tayammum daripada melakukan wudlu dengan air perbekalannya. Sebab, menjaga jiwa itu lebih utama dan telah ditetapkan oleh syariat sebagai salah satu dari tujuan syariat yang utama. Disamping itu karena wudlu memiliki alternatif lainnya yaitu tayammum, sedangkan minum air tidak bisa tergantikan.قَالَ أَصْحَابُنَا: وَيَحْرُمُ عَلَيْهِ الوُضُوءُ فِى هَذَا الحَالِ لِأَنَّ حُرْمَةَ النَّفْسِ آكِدٌ وَلَا بَدَلَ لِلشُّرْبِ وَلِلْوُضُوءِ بَدَلٌ وَهُوَ التَّيَمُّمُ --محمد نووي البنتاني، كاشفة السجا شرح سفينة النجا, مصر-بولاق، ص. 41
“Para sahabat kita (ulama-ulama dari kalangan madzhab syafii) berpendapat bahwa dalam kondisi seperti ini haram baginya (seseorang) untuk berwudlu karena menjaga jiwa itu telah ditetapkan (dalam syariat), dan tidak pengganti minum, sedangkan wudlu memiliki alternatif yaitu tayamum”. Referensi Kitab: Kasyifatus Sajaa syarah Safiinatun Najaa. Sumber: NU Online