Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Jawa Tengah, yang menolak gugatan pendirian pabrik semen oleh warga Rembang dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jateng, dinilai sebagai putusan yang menyelepekan kemanusiaan.
Tokoh agama setempat yang juga Katib Syuriyah PBNU KH Yahya Cholil Staquf mengatakan, PTUN Semarang telah mereduksi masalah lingkungan dan kelangsungan hidup rakyat banyak menjadi sekedar soal presedur administratif dengan mengabaikan pelanggaran-pelanggaran subtansial yang telah terjadi.
“Keputusan PTUN itu menyepelekan kemanusiaan,” ujar salah satu pengasuh di Pesantren Roudhotut Tholibin Leteh, Rembang ini, Jumat (17/4).
Mantan juru bicara presiden Abdurrahman Wahid ini menyebutkan, putusan PTUN tersebut sangat pantas digugat lagi. Sebab sudah terbukti bahwa dua saksi ahli yang didatangkan PT Semen Indonesia, yaitu dua dosen UGM ternyata memberikan kesaksian “palsu” di pengadilan. Bahkan, terungkap pula dalam pengadilan itu bahwa asesmen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang dijadikan dasar pemberian ijin Gubernur Jateng merupakan hasil penelitian abal-abal.
“Kesaksi dan dua dosen UGM itu palsu dan memakai hasil penelitian abal-abal,” imbuhnya.
Hakim Tidak Jujur
Gus Yahya, demikian ia biasa dipanggil, mempertanyaan, mengapa hakim menutup mata dari semua kepalsuan itu? Ia katakan, pengadilan yang menutup mata dari fakta ketidakjujuran, pastilah pengadilan yang tidak jujur. Itu artinya majelis hakimnya bukan orang jujur.
Lebih dari itu, lanjutnya, masalah penambangan semen di Rembang sebenarnya terkait dengan isu besar yang amat menentukan masa depan bangsa. Yakni kebutuhhan suatu paradigma nasional dalam ekstraksi sumber daya alam. Kepentingan ekonomi, menurutnya, tidak boleh dijadikan pertimbangan utama. Apalagi dikatakan sebagai telah mendesak.
Ditegaskannya, kelestarian alam dan kelangsungan hidup manusia lah, yang harus menjadi pertimbangan utama. Apabila tidak, maka ekstraksi sumber daya alam akan jatuh sepenuhnya pada kepentingan uang. Tak peduli uangnya siapa, untuk siapa dan untuk apa. Dan puncaknya adalah negara terus-menerus berkonflik dengan rakyatnya sendiri, mengingat proyeksi ekstraksi sumber daya alam ada di seluruh bumi Nusantara ini.
“Jika sudah begitu, terjadilah dehumanisasi alias perusakan nilai kemanusiaan,” tuturnya.
Lebih lanjut Gus Yahya mengatakan, saat ini bangsa Indonesia membutuhkan konsensus nasional untuk membangun harmoni di antara kepentingan-kepentingan yang saling bertabrakan itu.
“Kita membutuhkan konsensus nasional! Segera!,” pungkasnya.
Sumber: NU Online