Imam Ahmad ibn Hambali dalam kisahnya pernah bermimpi bertemu Allah. Dalam kesempatan itu ia bertanya kepada Allah, “Ya Allah melalui sarana apa orang yang ingin dekat dengan-Mu?” Allah menjawab bahwa orang yang ingin dekat dengan-Nya yakni melalui membaca kalam Allah. Kalam yang dimaksud adalah Al-Qur’an.

“Inilah nikmat mempunyai kitab Al-Qur’an yang sudah diberikan oleh Allah kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Makanya bulan Ramadhan bisa disebut dengan bulan membaca. Sebab pertama kali Nabi Muhammad menerima wahyu pada bulan Ramadhan,” tutur KH Masykur Mu’in dalam Pengajian Pitulasan Masjidil Aqsha Menara Kudus, Ahad (5/07), usai pelaksanaan tadarus Qur’an di tempat serupa. Kiai Masykur menjelaskan, Nabi Muhammad adalah ummiyyi (tidak bisa membaca dan menulis), tetapi pertama kali ayat yang diturunkan kepada Nabi adalah ayat Iqra’ yakni perintah untuk membaca. Lantas Nabi Muhammad menjawab, ma ana bi qoriin (saya tidak bisa membaca). “Tidak bisa membaca kok diperintah membaca,” ujarnya menerangkan dari sudut pandang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Ini terdapat isyarat, lanjut dia, perintah membaca bukan hanya diperuntukkan untuk Nabi Muhammad semata, tetapi diperutukkan kepada umatnya juga. Kata iqra’ berasal dari suku kata bahasa Arab qara’a yang bermakna membaca. Dalam disiplin ilmu Nahwu (gramatika bahasa Arab), qara’a termasuk dalam kata fi’il muta’addy (kata kerja yang mempunyai objek), tetapi dalam ayat pertama surat Al-‘Alaq itu tidak disebutkan objeknya. “Tapi anehnya di dalam Al-Qur’an ayat iqra’ bismirabbi kalladzi khalaq tidak ada objeknya. Iki opo seng diwoco, wong ora ono maf’ul bih (ayat ini diperintah membaca apa, padahal tidak ada objeknya)” terang Kiai Masykur menggunakan bahasa Jawa. “Ini menandakan, apabila objek disebutkan menunjukkan pembacaan yang terbatas. Sebagaimana objek kata kerja dalam disiplin ilmu Ma’ani (sastra bahasa Arab) bisa dihapus (dibuang). Artine, moco opo wae seng iso diwoco, neng iku moco ora sekedar moco (Artinya, membaca apa saja yang bisa dibaca, tetapi membaca tidak sekadar membaca),” tambah Kiai yang mengajar di Madrasah NU TBS Kudus itu. Selanjutnya, Kiai Masykur memaparkan cara membaca melalui keterangan ayat bismi robbi kalladzi khalaq. Maksud dari ayat tersebut, seseorang bisa membaca apa saja, tetapi bacaan tersebut dapat mengantarkannya untuk bisa menjadikan hati dan pikirannya semakin mengenal Allah. “Makanya membaca tidak hanya dibaca sekali, tapi dibaca secara berulang-ulang. Barang siapa yang membaca serta bisa mengantarkan tambah mengenal Gusti Allah, tambah iman kepada Gusti Alllah, tambah ma’rifat kepada Gusti Allah. Maka ayat iqra’ warobbu kal akram, disitu kata robbun disifati akrom (mulia), sehingga konsekuensinya orang yang membaca yang mengantarkan semakin mengenal Allah pasti menjadi orang yang mulia. Inilah indahnya Al-Qur’an,” paparnya. Namun menurut dia, bagi yang tidak bisa membaca, bisa mendengarkan orang yang membaca Al-Qur’an. “Orang yang membaca dan mendengarkan, keduanya sama-sama mulia,” ujarnya di depan ratusan hadirin dalam pengajian rutin setiap malam bulan Ramadhan yang berakhir sampai pukul 11 malam itu. (M. Zidni Nafi’/Mukafi Niam) Sumber: NU Online