Jakarta, Hari Sabtu 22 Agustus 2014 di Desa Wiromartan Kecamatan Mirit, Kebumen Jawa Tengah terjadi tindak kekerasan yang dilakukan aparat TNI terhadap para petani. Kekerasan tersebut mengakibatkan sejumlah petani mengalami luka parah.

Peristiwa ini merupakan rentetan konflik yang terjadi di Urutsewu terkait penguasaan tanah yang selama ini dikelola oleh para petani namun kemudian dipagari pihak TNI. Konflik tanah Urutsewu terjadi di sejumlah desa di pantai Kebumen Selatan, yaitu: Desa Ayamputih, Setrojenar, Bercong (Kecamatan Buluspesantren); Desa Entak, Kenoyojayan Ambal Resmi, Kaibon Petangkuran, Kaibon, Sumberjati, (Kecamatan Ambal); Mirit Petikusan, Mirit, Tlogodepok, Tlogopragoto, Lembupurwo, dan Wiromartan (Kecamatan Mirit).
Sudah sejak era kolonial, petani di desa-desa tersebut mendiami dan mengelola tanah yang panjangnya kurang lebih 22,5 km dan lebar 500 meter dari bibir pantai selatan. Di awal tahun 80-an, TNI menggunakan sejumlah lahan di Urutsewu untuk latihan perang.
Pada tahun 2007, TNI AD meluaskan klaimnya menjadi 1000 m dari garis pantai. Hal ini memicu perlawanan keras dari para petani. Kemudian, pada tahun 2008, TNI mengeluarkan Persetujuan Pemanfaatan Tanah TNI AD di Kecamatan Mirit untuk Penambangan Pasir Besi kepada PT Mitra Niagatama Cemerlang. Desa-desa yang termasuk ke dalam area izin eksplorasi adalah Mirit Petikusan, Mirit, Tlogo Depok, Tlogo Pragoto, Lembupurwo, dan Wiromartan. Pada tahun 2011, pemerintah mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT MNC selama 10 tahun di lahan seluas 591,07 ha dengan 317,48 ha.
Pada Desember 2013, TNI AD melakukan pemagaran dan sudah merambah 2 desa di Kecamatan Mirit, yaitu Desa Tlogodepok dan Mirit Petikusan. Hal ini ditentang keras oleh para petani dan berujung pada sejumlah bentrokan. Terakhir, adalah kekerasan yang terjadi pada tangal 22 Agustus 2015 lalu.
Berkenaan dengan kejadian tesebut, Jaringan Gusdurian melalui rilis yang diterima
NU Online, Jumat (28/8) menyerukan:
- Mengutuk kekerasan yang dilakukan aparat TNI terhadap para petani Urutsewu. Hal itu menunjukkan TNI masih mempunyai watak rezim Orde Baru yang menganggap rakyat sebagai musuh, bukan warga yang harus dilindungi.
Meminta TNI menghentikan pemagaran atas tanah yang selama ini dimiliki warga dan tidak melakukan kesepakatan bisnis dengan perusahaan tambang. TNI harus tunduk Undang-Undang No.34/2004 dan menjadi tentara profesional yang tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis,serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional.
Meminta pemerintah, Komnas HAM, dan aparat polisi untuk mengusut peristiwa kekerasan terhadap petani di Urutsewu.
Meminta pemerintah, dalam hal ini Gubernur Jawa Tengah dan Bupati Kebumen, untuk segera menyelesaikan persoalan konflik tanah di Urutsewu ini dengan mempertimbangkan keadilan bagi masyarakat Urutsewu.
Meminta semua pihak untuk mengutamakan dialog dan perdamaian dengan tujuan menegakkan keadilan, karena perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.
Seknas Jaringan Gusdurian
Alissa Wahid
(Red: Fathoni)
Sumber:
NU Online