Surabaya, Pengurus Wilayah Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama (Lesbumi NU) Jawa Timur melangsungkan sarasehan sastra dan budaya bertema “Fikih, Seni dan Sastra” di kantor PWNU Jawa Timur, Surabaya, Jumat (25/9), dengan menghadirkan KH Abdurrahman Nafis dan Muhammad Al-Fayyadl sebagai narasumber dan Riadi Ngasiran sebagai moderator.
KH Abdurrahman Nafis, mengemukakan bahwa dalam sejarahnya, sastra sering menjadi bagian tidak terpisahkan bagi awal dikenalkannya Islam. “Dan Nabi Muhammad dengan mukjizat yang diterimanya berupa al-Qur’an, telah mampu mengalahkan karya sastra masyarakat Arab saat itu,” katanya.
Para pemimpin Quraisy saat itu, yakni Umar bin Khattab serta Amr bin Hisyam dibuat tidak berdaya dengan kandungan ayat Al-Qur’an. “Bahkan, Umar bin Khattab bisa terenyuh saat putrinya, Siti Hafshah membaca ayat al-Qur’an, sehinggga berkenan menjadi muslim,” kata Wakil Ketua PWNU Jatim ini.
Kiai Nafis, sapaan akrabnya, kemudian menggambarkan bagaimana awal mula islamisasi di Indonesia yang lebih menggunakan cara damai, termasuk dengan menggunakan seni sebagai media dakwahnya.
“Para Wali Songo telah berhasil mengislamkan khususnya masyarakat Jawa lewat pendekatan seni,” terangnya. Lahirnya seni wayang, tembang dan syair dengan tema agama sebagai bukti bahwa seni demikian menjadi media yang sangat efektif untuk mengenalkan Islam kepada masyarakat, lanjutnya.
Sebelumnya, masih menurut Direktur PW Aswaja NU Center Jatim ini, para ulama pengarang kitab telah menemukan disiplin ilmu yang membahas tentang kaidah sastra lewat ilmu balaghah, arudh, dengan berbagai varian yang dimiliki.
Pertemuan antara fikih dan sastra akhirnya melahirkan definisi dan batasan yang menjelaskan tentang seni islami. “Ada 4 batasan yang telah digariskan para fuqaha terhadap seni,” kata Kiai Nafis yang juga dosen UIN Sunan Ampel Surabaya ini.
Pertama adalah, seni yang dilahirkan tidak memgandung kemusyrikan. “Yang kedua, seni islami adalah yang tidak mengandung maksiat,” katanya. Sedangkan ketiga adalah jangan sampai menimbulkan fitnah, dan terakhir yakni seni harus mengandung amar makruf nahi munkar, imbuhnya.
Sering Terjadi Ketegangan
Muhammad Al-Fayyadl justru mencatat akhir-akhir ini sering terjadi ketegangan di akar rumput antara santrawan dan para fuqaha. “Bahkan pernah saya saksikan, pagelaran seni di salah satu kampung justru dihentikan lantaran dianggap tidak islami,” kata alumnus Master “Philosophie et Critiques Contemporaines de la culture” Université Paris VIII, Prancis tersebut.
Padahal di awal Muktamar NU, para kiai sangat terbuka dengan masalah kesenian. “Ini mengisyaratkan bahwa hubungan antara kesenian dan agama menduduki porsi terpenting dalam perhatian ulama,” kata Gus Fayyadl, sapaan akrabnya.
Dalam perjalanannya, kendati persoalan kesenian kontemporer kemudian kerap menjadi bahasan dalam forum bahtsul masail NU, tapi dalam pandangan dosen UGM ini, rumusannya secara konseptual masih jauh dari komprehensif dan meyakinkan.
Kedua narasumber sepakat bahwa harus selalu dilakukan dialog terbuka antara para pegiat seni dengan aktifis bahtsul masail agar ditemukan titik temu bagi sejumlah permasalahan seni mutaakhir yang tentunya sarat dengan dinamika dan inovasi. (Ibnu Nawawi/Mahbib)
Sumber: NU Online