
Banyang-bayang golput, khususnya di wilayah Bolmong Raya, muncul ditengarai lantaran gugurnya pasangan calon Elly-David. “Entah karena kecewa jagoannya tak bisa naik tanding, atau karena alasan lain, golput, sekali lagi dalam konteks Pilgub Sulut, dapat dipahami sebagai reaksi politik masyarakat BMR (Bolaang Mongondow Raya) terhadap gagalnya dua harapan; mandeknya pembentukan provinsi BMR dan tidak hadirnya elit BMR dalam ruang tanding Pilgub Sulut,” katanya dalam siaran pers, Kamis (3/9). Menurut Supriadi, dalam konteks dua poin tersebut, isu atau sikap golput menjadi masuk akal. Ketidakmampuan elit BMR dalam menerobos barikade politik bagian inti Sulawesi Utara, membuat elit atau mungkin masyarakat negeri bekas kerajaan ini mengambil sikap defensif dengan tidak mau proaktif secara politik. “Saya tidak tahu persis apakah ini sikap strategis secara politik atau sekadar suara kecewa murni. Atau mungkin ada agenda bawah tanah sekelompok orang dengan kalkulasi pragmatisme tertentu. Lepas dari semua dugaan dan asumsi di atas, bahwa kita masih memiliki pekerjaan rumah untuk perbaikan dan kemajuan partisipasi politik masyarakat,” tuturnya. Bahwa banyaknya dana yang digunakan untuk Pilakada, lanjut Supriadi, hendaknya berbanding lurus dengan semakin baiknya proses berdemokrasi. Jika golput menjadi indiktor gagalnya demokrasi, maka sikap golput apapun alasannya tidak sepenuhnya benar. “Tetapi jika golput merupakan tanda semakin rasionalnya cara dan pola pikir politik masyarakat, maka golput harus dihargai sebagai sikap politik bertanggungjawab. Sejauhmana tingkat kebenaran asumsi ini, masih perlu diskusi dan tukar pikir. Wallahu a'lam bissawab,” tutupnya. (Donal Lamunte/Mahbib) Sumber: NU Online