
PBNU Dukung Surat Edaran Kapolri Terkait "Hate Speech"
Jakarta, Maraknya penghinaan, pelecehan, menghasut serta provokasi sebab perbedaan suku, agama, aliran kepercayaan serta ras di mana motivasinya dapat memecah belah persatuan umat berbangsa dan bernegara bisa menjadi masalah besar jika tidak diatur. Atas dasar itu, setelah melalui proses pengkajian, akhirnya Kapolri mengeluarkan surat edaran tentang penanganan ujaran kebencian atau hate speech bernomor SE/06/X/2015.
Terkait itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan pernyataan mendukung surat edaran terkait penanganan ujaran kebencian (Hate Speech). “Sebab Islam sendiri mengharamkan penghinaan, pencemaran nama baik, menyebarkan berita bohong, menghasud dan itu semua termasuk dalam kategori fitnah, dimana dalam alqur’an ditegaskan, pada surah al-Baqarah ayat 191, …الفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ القَتْلِ… , “Fitnah dapat merusak persatuan dan kesatuan,” ungkap Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj, Jumat (6/11).
Selanjutnya, Kiai Said mengajak kepada komunitas lintas agama, aliran, etnik, partai politik dan ormas untuk bergandeng tangan menjaga keutuhan, kesatuan dan keselamatan bangsa demi kemajuan bersama. Jangan pernah mempersoalkan, mengusik perbedaan budaya, cara beragama, dan hal lainnya yang telah diwariskan ratusan tahun oleh para pendahulu negara ini.
“Tolong perbedaan harus dihormati, jangan dipersoalkan, sebab kita tidak ingin seperti negara-negara di Timur Tengah yang sedang tercerai berai karena cenderung anti-perbedaan,” ujar Guru Besar Ilmu Tasawuf ini.
Kiai asal Kempek, Palimanan, Cirebon ini juga mengecam media, baik beruapa elektronik maupun cetak yang menebarkan berita-berita kebencian. Dimana itu semua memicu ketegangan serta konflik di tengah masyarakat. “Sekali lagi saya dukung surat edaran Kapolri,” tegasnya.
Dosen Pascasarjana Islam Nusantara STAINU Jakarta ini juga menandaskan, surat edaran ini bukan berarti membatasi kebebasan demokrasi, sebab NU juga mendukung demokrasi tetapi demokrasi yang santun, demokrasi yang mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, bukan demokrasi yang menghasut, menghina dan sebagainya.
“Hal ini juga termasuk bagian dari revolusi mental yang digaungkan oleh Presiden Jokowi,” tutupnya. (Faridur Rohman/Fathoni)
Sumber: NU Online
