Lesbumi Ajak Baca Sejarah dengan Cara Emik

Jakarta, NU Online
Ketua PBNU Imam Aziz mengatakan, cara pandang sejarah emik (sudut pandang yang selama ini ditulis orang lain) merupakan kajian pascakolonial. Hal ini penting sebagai upaya mengkritik cara berpikir sejarah yang ada sebab Indonesia ini punya banyak masalah dalam penulisan sejarah dan dalam memperlakukan sejarah.

“Ini berkaitan dengan sejarah tidak sekadar narasi, tapi berkaitan manusia. Narasi membuat nasib manusia berubah. Penulisan sejarah akan menentukan nasib kita,” katanya pada diskusi bertema “Kolonial Belanda dan Kekerasan Budaya Pasca-1926-1927” di auditorium lantai 8 PBNU, Jakarta, pada Kamis (17/12).

Misalnya terkait penulisan sejarah Gerakan 30 September 1965. Ia mengaku telah mengumpulkan fakta-fakta sejarah di 35 kabupaten dan kota di Jawa dan Bali. Ia melakukan itu ketika duduk di Lakpesdam Yogyakarta.  

Dari fakta-fakta itu, ia mendapatkan narasi-narasi yang berbeda dari sejarah yang ditulis di Jakarta dan dalam buku sejarah dan di film. “Sejarah harus ditulis jangan dari narasi besar seperti yang ada di Jakarta karena jauh berbeda,” katanya seraya menambahkan, karena itulah, kita harus mengkritik sejarah itu dan menawarkan perspektif baru kepada masyarakat. Dalam peristiwa 65 itu sudah 50 tahun kita menggunanakan sejarah secara etik, sudut pandang orang luar.

Sementara narasumber lain, KH Ng. Agus Sunyoto, sependapat dengan Imam Aziz. Menurut Agus, selama ini, kita tak memiliki kacamata sendiri dalam membuat sejarah. Kita seolah tak memiliki kewenangan bercermin dengan kepada cermin milik kita dengan cara kita sendiri.  “Semua sudah dalam narasi etik orang lain,” kata Ketua Lesbumi PBNU ini.

Ia menyebut contoh penduduk asli Amerika disebut orang Barat sebagai Indian. Padahal itu salah fatal. Penyebabnya, Colombus, yang dianggap penemu benua Amerika menganggap sudah sampai ke India.

Begitu juga, lanjut penulis Suluk Abdul Jalil 7 jilid ini, ketika orang Inggris datang ke benua Australia. Mereka menyebut penduduk aslinya sebagai aborigin. “Enggak ada penduduk asli namanya itu. Aborigin itu adalah sebutan orang Inggris yang berarti, setengah manusia setengah binatang. Itu sudut pandang mereka,” katanya pada diskusi yang digelar Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU tersebut.

Dari penyebutan Aborigin, sebagai dikemukakan Imam Aziz, akan membentuk nasib mereka di masa akan datang. Penulisan sejarah akan menentukan nasib orang yang ditulis itu.

Sementara narasumber ketiga, Daniel Rudi, dengan fakta-fakta yang dikemukakan kedua narasumber tersebut, ia mengajak untuk, dalam bahasa dia, hijrah intelektual. Artinya, membaca ulang penulisan sejarah-sejarah yang ada. Kemudian mengemukakan sejarah dari sudut pandang kita (emik), bukan orang lain (etik).

Diskusi yang dihadiri puluhan peserta ini dimoderatori Widyasena Sumadyo tersebut dihadiri puluhan peserta. Rencananya, Lesbumi akan menggelar diskusi tiap bulan dengan tema berlainan. (Abdullah Alawi)  

Sumber: NU Online

Scroll to Top