Sebanyak 30 santri perwakilan 30 pesantren di Jawa Timur mengikuti pendidikan Hak Asasi Manusia dan Perdamaian serta Respon atas Fenomena Terorisme di Hotel Novotel Surabaya, Senin-Jumat (5-8/1). Mereka berasal dari pesantren di Surabaya, Bangkalan, Sampang, Sumenep, Sidoarjo, Pasuruan, dan Jombang dengan komposisi 12 perempuan dan 18 laki-laki. Peserta umumnya berusia antara 17-22 tahun dengan tingkat pendidikan antara kelas 3 SLTA hingga tingkat 2 perguruan tinggi.

Kegiatan ini diadakan untuk meningkatkan pengetahuan dan pengalaman para santri tentang perdamaian dalam Islam, HAM, dan meningkatkan keterampilan mereka dalam menyelesaikan konflik secara damai dalam perspektif Islam dan HAM. Pendidikan ini juga akan dilanjutkan dengan kunjungan dan dialog perwakilan 2 pengungsi konflik Syi'ah Sampang di kantor Center for Marginalized Communities Studies (CIMARs) Surabaya. Kunjungan ini ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan santri tentang praktik terbaik bina damai dan penanganan konflik dengan harapan dapat membekali mereka dalam upaya pembangunan perdamaian dan penanganan konflik di Jawa Timur. Koordinator Program Pesantren for Peace (PfP) Idris Hemay menegaskan, program ini dilatarbelakangi oleh aksi kekerasan dan teror atas nama agama yang terus marak terjadi. Belum lama ini misalnya masyarakat dunia dikejutkan dengan aksi kekerasan yang terjadi di Paris yang mengakibatkan setidaknya 120 orang meninggal dunia dan ratusan lainnya mengalami luka-luka. "Salah satu tersangka pelaku terorisme di Paris adalah Frederick C Jean Salvi alias Ali, yang menurut berbagai sumber diketahui kerap mendatangi berbagai pesantren di Bandung Jawa Barat. Salah satunya pesantren di Cileunyi Bandung," terangnya. Dalam rangka berkontribusi aktif dalam upaya mengurangi dan mencegah aksi kekerasan dan terorisme, pihaknya dari Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Konrad-Adenauer-Stiftung (KAS) dengan dukungan Uni Eropa mengembangkan dan menjalankan sebuah program penting bertajuk "Pesantren for Peace (PfP)". Program ini dijalankan dengan melibatkan banyak pondok pesantren di 5 wilayah di Jawa, salah satunya di Jawa Timur. Program ini diadakan untuk mendorong dan mendukung peran pesantren sebagai lokomotif moderasi Islam di Indonesia dalam rangka menegakkan dan memajukan HAM, demokrasi, toleransi agama dan pencegahan serta penyelesaian konflik secara damai. Menurut Idris, hasil penelitian yang dilakukan PfP beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa pesantren di Jawa Timur masih belum memaksimalkan perannya dalam membangun perdamaian dan mencegah aksi kekerasan. Penelitian ini juga mengonfirmasi bahwa akar penyebab konflik dan kekerasan yang terjadi di Jawa Timur sangat beragam mulai dari aspek teologis hingga persoalan ekonomi, politik, dan sosial budaya. "Hal ini dipicu oleh hadirnya kebijakan yang tidak adil, sikap diskriminatif dan intoleran, rendahnya rasa kebersamaan, menguatnya identitas keagamaan, dan kentalnya prasangka (prejudice) di antara kelompok masyarakat baik di kalangan antaragama maupun intra agama itu sendiri," ujar pria kelahiran Desa Kertagena Tengah, Kecamatan Kadur, Kabupaten Pamekasan ini. (Hairul Anam/Alhafiz K) Sumber: NU Online