Mohon penjelasan tentang ajaran Syekh Siti Jenar terkait sasahidan, sangakanparaningdumadi, awanguwung, dan manunggaling kawula gusti.
Yang dimaksud Sasahidan adalah ajaran tentang persaksian dalam perjalanan ruhani mendaki (taraqqi) menuju Allah. Persaksian al-murid kepada Al-Murid melalui maqam-maqam. Puncak dari persaksian adalah saat kekauan seseorang sudah lenyap (fana’) tenggelam dalam Allah. Saat itulah seluruh makhluk mempersaksikan bahwa keakuan yang lenyap itu telah bersemayam di dalam Dzat Tuhan Yang Maha Suci, dan karenanya memiliki sifat-sifat Ilahi. Itulah tahap penyatuan Ruh Ilahi yang bersemayam di dalam diri manusia saat ditiupkan (nafakhtu) pada waktu penciptaan dengan Allah yang meniupkanNya. Itulah tahap kembalinya ruhal–Haqq kepada Al–Haqq. Itulah tahap puncak kembalinya unsur Ilahiyah di dalam diri manusia (ruh al-Haqq) kepada Sang Pencipta (ini tidak bisa dijabarkan secara ilmiah karena merupakan pengalaman ruhani yang tak terwakili oleh bahasa manusia. Ini sama dengan peristiwa ruhani Isra’ wa Mi’raj yang tidak bisa dijabarkan secara ilmiah).
Yang dimaksud Sangkan Paraning Dumadi adalah ajaran yang memutlakan Huwa sebagai Dzat Mutlak yang azali yang menjadi sumber segala sumber penciptaan. Huwa itu tak terjangkau akal. Tak terjabarkan konsep. Tak terbandingkan. Huwa adalah Huwa. Tan kena kinayangapa. Tidak bisa diapa-apakan. Laisa kamitslihi syai’un. Dia dilambangkan dengan suwung. Hampa. Tetapi bukan hampa yang tidak ada melainkan; ada tetapi tidak tergambarkan. Karena itu lambang suwung itu disebut awang–awung. Ada tetapi tidak ada. Tidak ada tetapi ada. Huwa yang tidak terjangkau itu kemudian muncul sebagai “Pribadi Ilahi”, Allah, yang dikenal Sifat dan AsmaNya. Pribadi Ilahi yang disebut Allah itulah yang menjadi pusat segala ciptaan di mana segala ciptaan pada dasarnya adalah ‘permunculan’ itu diyakini melalui tujuh tahap tanazzul: Hāhūt – Lāhūt – Bahut – Jabarūt – Malakūt – Asma’ – Nasūt.
Apakah segenap ajaran tersebut merupakan elaborasi atas bentuk mistik Ibn ‘Arabi (wahdatul wujud) dan martabat tujuh (al-maratib al-sab’ah) milik al-Burhanpuri? Apakah mereka terkonstruk dalam tema tasawuf falsafi yang dekat dengan Syi’ah?
Baca juga: Ulama Banjar (123): H. Asranuddin Gadu
Saya belum meneliti hubungan ajaran Syekh Siti Jenar dengan Ibn ‘Arabi, Burhanpuri maupun Syi’ah. Namun merujuk silsilah Tarikat Akmaliyyah yang berpuncak pada Abu Bakar as-Shiddiq, dan watak tarikatnya yang egaliter, saya tidak melihat hubungan tarikat Syekh Siti Jenar dengan tasawuf Syi’ah.
Adakah proses akulturasi antara Islam, dan mistik Hindu Jawa dalam tasawuf Syekh Siti Jenar?
Sepanjang yang saya tahu, mistik Hindu-Jawa penuh dengan perangkat ritual dengan banyak simbol-simbol dalam upacara bersifat mistis. Sementara ajaran tarikat Syekh Siti Jenar ‘bersih’ dari simbol, dan upacara ritual bersifat mistis. Tarikat Syekh Siti Jenar sangat ringkas. Aplikatif. Tidak dikenal dewa-dewa sebagai perantara menuju sang Mahadewa. Tidak dikenal juga wasilah melalui wali-wali keramat. Yang dikenal adalah hubungan langsung dari manusia sebagai individu menuju Allah dengan satu-satunya wasilah: Nur Muhammad.
Kontroversi nyata yang mengiringi ajaran Syekh Siti Jenar adalah tuduhan “abai syari’at”. Jika sudah manunggal, maka syari’at tidak dibutuhkan lagi. Apakah betul? Mohon penjelasan antara hubungan syari’at, dan hakikat dalam tasawuf Syekh Siti Jenar.
Tuduhan “mengabaikan syari’at” sangat lekat dengan ajaran Syekh Siti Jenar. Itu terkait dengan disiplin keilmuan yang harus dipilahkan secara tegas. Maksudnya, disiplin syari’at atau lebih spesifik ilmu fiqih tidak boleh digunakan memaknai dan menilai tasawuf. Sebab piranti pengetahuan, asumsi dasar, paradigma, dogma, doktrin, dan mitos, masing-masing disiplinnya sangat berbeda.
Baca juga: Ulama yang Wafat dalam Keadaan Sujud (1): Abu Hanifah, Pendiri Mazhab Hanafiyah
Dalam disiplin ilmu tasawuf, misal, ajaran Syekh Siti Jenar menganut faham wahdatul adyan (kesatuan agama-agama) di mana semua agama sejatinya adalah berasal dari Tuhan, dan orang seorang menganut agama tertentu karena kehendak Tuhan semata. Dengan pandangan itu murid-murid Syekh Siti Jenar dalam agama formal tetap ada yang Hindu dan Budha maupun Kapitayan. Kepada mereka tentu saja Syekh Siti Jenar tidak memerintahkan untuk menjalankan syariat Islam.
Jika ada yang tanya kenapa Syekh Siti Jenar tidak mengsyaratkan semua muridnya Islam? Itulah pandangan ulama sufi yang tidak sederhana untuk dinilai dengan kacamata fiqih. Selain itu, para pengikut Syekh Siti Jenar memandang bahwa ketentuan syariat yang diwajibkan atas manusia tidak bersifat mutlak. Semua hal yang bukan Tuhan selalu nisbi. Demikian juga dengan syariat. Orang gila, anak belum baligh, orang pingsan, orang tidur, orang tidak sempurna akalnya, orang yang hilang ingatan, orang linglung, misal, pasti tidak kena hukum wajib syariat. Karena itu, pada saat seseorang dalam perjalanan ruhani tenggelam ke dalam tauhid (fanā fī tauhid) yang berarti hilang kesadaran jati dirinya, lenyap keakuannya, tidak kena hukum syariat. Bagaimanapun dia bisa menjalankan syariat sedang dirinya sendiri saja dia tidak sadar. Tetapi manakala orang sudah sadar kembali dari keadaan lupa diri (karena hanya ingat Allah saja), dan hidup bermasyarakat, maka wajib bagi dia mengikuti syariat.
Baca juga: Beginilah Hadratussyaikh Mencintai Al-Qur'an (4): Menekankan Pentingnya Tadabur Al-Qur'an
Nah yang terjadi di kalangan pengamal ajaran Syekh Siti Jenar dari kalangan grass root yang sejak awal memang tidak berada di lingkungan kaum agamis, menggunakan klaim bahwa Syekh Siti Jenar menolak syariat dengan tujuan utama agar mereka tidak menjalani syariat. Bahkan berbeda jauh dengan Syekh Siti Jenar yang menganggap syariat adalah sarana penting untuk menjaga kerendahan hati, dan merupakan pijakan awal untuk mencapai ma’rifat setelah melalui thariqat dan hakikat, mereka dari kalangan grass root justru menganggap syariat adalah lambang kerendahan maqamruhani. Ini sangat berlawanan dengan ajaran Syekh Siti Jenar. Mereka terjebak oleh ketidak-fahaman, dan terjerat sifat takabur. Bahkan karena grassroot tak terdidik, dan tidak mampu mewadahi ajaran Syekh Siti Jenar yang sarat dengan pemikiran filosofis, mereka menafsirkan ajaran Syekh Siti Jenar dengan ilmu otak atik matuk. Ini sangat berbeda dengan pengamalan ajaran Syekh Siti Jenar dari kalangan bangsawan, dan ulama (sayangnya mereka menutup diri, dan merahasiakan ajaran secara sangat eksklusif).
Baca Juga
Artikel ini di kliping dari Alif.id sebagai kliping/arsip saja. Segala perubahan informasi, penyuntingan terbaru dan keterkaitan lain bisa dilihat di sumber.