Terkait dengan hal di atas, betulkah Syekh Siti Jenar dieksekusi (hukuman mati) oleh Wali Sanga? Kalau benar, apa sebabnya? Ajarannya kah, atau lebih kepada kepentingan politik rezim Demak?
Syekh Siti Jenar tidak dihukum mati oleh Wali Sanga. Tapi ajarannya dilarang oleh Trenggana, Sultan Demak. Latarnya jelas politis. Keikut-sertaan Wali Sanga dalam proses pelarangan ajaran Syekh Siti Jenar menurut saya, lebih disebabkan oleh “keharusan moral” untuk memihak kepentingan Trenggana dalam kapasitas keluarga. Hendaknya diingat, bahwa Trenggana adalah cucu Sunan Ampel. Sunan Bonang adalah uwaknya. Sunan Drajat adalah pamannya. Sunan Giri II adalah sepupunya. Sunan Kalijaga adalah mertuanya. Sunan Gunung Jati adalah besannnya. Sunan Ngudung sepupu jauhnya.
Proses politisasi itu terlihat dari kisah dieksekusinya Syekh Siti Jenar di Masjid Demak, dan di Masjid Kasepuhan Cirebon dengan skenario yang mirip. Apa bisa satu orang dieksekusi dua kali? Dan mayat keduanya diganti dengan anjing. Ironisnya dikisahkan (bahwa) mayat Syekh Siti Jenar menebar bau wangi, dan darahnya menuliskan kalimah Lāilāha ilaLlāh muhammadur rasūluLlāh. Bukankah skenario itu menaikkan pamor Syekh Siti Jenar yang matinya sangat menakjubkan? Sebaliknya menjelekkan Wali Sanga sebagai “ulama-ulama curang”? Pengikut Syekh Siti Jenar justru tidak suka dengan cerita versi mereka. Hanya ajaran Syekh Siti Jenar yang dilarang oleh penguasa dewasa itu dengan dukungan formal Wali Sanga?
Apakah ekses politik dari Syekh Siti Jenar, sehingga ia patut “disingkirkan” oleh otoritas yang ada? Kepentingan siapakah yang paling terusik?
Ajaran egaliterianisme Syekh Siti Jenar yang meneladani ajaran Nabi Muhammad s.a.w., dan sahabat, jelas menimbulkan dampak langsung dengan eksesnya, karena dewasa itu bisa dianggap sangat berbahaya bagi sistem kekuasaan di Jawa yang menganut konsep Dewaraja (raja adalah titisan Tuhan) yang berlangsung meski orang sudah memeluk Islam. Kata ganti “ingsun” yang digunakan oleh Syekh Siti Jenar, dan pengikut (Sunan Giri dan warga Gresik juga sama) adalah penghinaan siritual terhadap raja. Karena kata ganti tersebut di era itu hanya hak diucapkan oleh raja. Selain raja, orang menggunakan kata ganti “kula” atau “kawula” (Jawa), “abdi” (Sunda), “saya” atau “sahaya” (Melayu) yang bermakna budak. Bahkan di hadapan raja, orang harus menggunakan kata ganti diri “patik” (anjing). Gagasan Syekh Siti Jenar tentang komunitas “masyarakat” yang berasal dari istilah Arab musyarakah (orang sederajat yang bekerja sama) menggantikan komunitas “kawula” (budak) di desa-desa Lemah Abang benar-benar membahayakan sistem kekuasaan dewasa itu. Demikianlah, para pengikut Syekh Siti Jenar yang disebut “kaum Abangan” (pengikut Syekh Lemah Abang, atau penduduk desa Lemah Abang) diposisikan sebagai kelompok murtad yang harus dibasmi. Pernyataan Sunan Giri II yang berbunyi “Syekh Siti Jenar kafir inda al-nās wa mu’min inda Allāh” menunjukan sinyalemen adanya latar politik di balik “penggusuran” ajaran Syekh Siti Jenar.
Baca juga: Ulama Banjar (140): Prof. Dr. H. M. Yusran Salman
Banyak orang yang melihat tasawuf falsafi: tasawuf yang berangkat dari paradigma penyatuan khalik-makhluk secara mistis, merupakan sisi agama yang rumit, eksklusif, di samping sering dianggap menyimpang. Bagaimana Syekh Siti Jenar bisa fungsional, khususnya bagi kegersangan spiritual masyarakat kota?
Sejak semula ajaran Syekh Siti Jenar memang rumit, dan sangat eksklusif. Tarikat Akmaliyyah sendiri sangat tertutup. Di kalangan internal ada ketentuan yang mengatur para pengikut untuk tidak membahas ajaran Syekh Siti Jenar kepada orang luar. Mereka mengikuti aturan yang berbunyi “ajaran ini haram dibicarakan kepada orang-orang yang tidak sama i’tikadnya.” Dengan ketentuan itu sepertinya ajaran Syekh Siti Jenar memang sulit disosialisasikan sebagai ajaran yang terbuka dan bersifat umum. Namun demikian, di era global, ketika pengetahuan manusia sudah mencapai tahap yang paling tinggi dari sejarah peradaban manusia, ajaran Syekh Siti Jenar ternyata bisa diterima sebagai sesuatu yang masuk akal, dan sepertinya bisa diamalkan.
Di era global seperti ini, pemikiran, gagasan, konsep, dan pandangan Syekh Siti Jenar justru banyak dijadikan kajian oleh orang Islam maupun non-Islam. Nah yang paling sulit dari ajaran Syekh Siti Jenar untuk diaplikasikan secara umum adalah pemahaman terhadap konsep Allah sebagai SangSuwung yang meliputi segalanya. Sebab pada tahap ruhani itu, orang jadi aneh karena meraka selalu diliputi dan ‘dilihat’ Allah di mana saja berada sehingga pemikiran, ucapan, tindakan dan gerak-geriknya sering menjadi ewuh-pakewuh, dan tidak normal. Karena itu, menurut saya, yang paling sesuai dipelajari orang di era sekarang ini cukuplah ajaran filosofis Syekh Siti Jenar sebagaimana banyak ditulis orang dan bukan tarikatnya.
Baca juga: Dakwah Lembut Habib Nusantara (2): Habib Luthfi dan Gerakan Cinta Tanah Air
Itulah hasil wawancara eksklusif yang dilakukan oleh sosok kiai Agus Sunyoto (rohimahuLlāh) dengan redaktur majalah CahayaSufi yang terbit pada Agustus 2007 atau 15 tahun silam.
Tentu kita semua sangat berhutang budi kepada sosok ayah dari Zulfikar Muhammad, Fahrotun Nisa Hayuningrat, dan Izul Fikri Muhammad, serta Dedy Rahmat tersebut. Karena bagaimanapun juga, sedikit banyak, beliau telah ikut serta membumikan jejak peradaban, dan perjalanan serta ajaran-ajaran ulama Nusantara, tak terkecuali jejak ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar yang “ditasbihkan” —oleh sebagaian orang— sebagai Wali ke-10.
Melalui wawancara eksklusif di atas —yang dilatari oleh novel Suluk Abdul Jalil, Perjalanan Ruhani Syekh Siti Jenar—, suami dari Nyai Nurbaidah Hanifah tersebut berusaha mentransfer bigdata kepada kita semua tentang dinamika yang terjadi dalam ajaran tasawuf yang disebarkan oleh Syekh Siti Jenar. Mulai dari ajaran sasahidan, sangakanparaningdumadi, awanguwung, hingga ajaran manunggaling kawula gusti.
Selain mentransfer bigdata tentang ajaran Syekh Siti Jenar, beliau juga berusaha memberikan pandangan, serta wacana baru, bahwa meninggalnya Syekh Siti Jenar itu sarat akan “menu politik”, terlepas dari ajaran-ajaran beliau yang memang (dianggap) kontroversi juga.
Lebih jauh lagi, bisa kita amini bersama bahwa wawancara di atas merupakan bentuk pledoi dari kiai Agus Sunyoto terhadap Syekh Siti Jenar atas fitnah yang menimpa dirinya yang dilakukan oleh sebagain orang yang tidak suka dengan Syekh Siti Jenar dengan melabeli Syekh Siti Jenar sebagai penganut madzhab Syiah.
Baca juga: Kiai Sahal Mahfudh (2): Fiqih Kebangsaan Kiai Sahal
Mereka menganalogikan bahwa “siti” artinya “tanah”, dan “jenar” artinya “merah”, lalu “tanah merah” di tamsilkan sebagai “tanah Karbala” dan tanah Karbala adalah basis ajaran madzhab Syiah sehingga Syekh Siti Jenar adalah penganut Syiah. Tentu hal ini perlu diluruskan, bahwa tudingan seperti itu tidaklah benar, non sense alias omongane ora siku.
Terima kasih kiai Agus Sunyoto sang “pendekar” peradaban Nusantara atas transfer bigdata-nya, dan semua dedikasi, serta pengabdian luhurnya untuk bangsa, dan negara.
Ndhèrèk naksèni, bilih panjenenganipun Syekh Siti Jenar ugi Kiai Agus Sunyoto menika piantun saè. Mugi swargi haq lan langgeng kanggè panjenengan sedaya. Amīn Yā Rābb …
Linnabī lahumal fātehah …
Baca Juga
Artikel ini di kliping dari Alif.id sebagai kliping/arsip saja. Segala perubahan informasi, penyuntingan terbaru dan keterkaitan lain bisa dilihat di sumber.