Kuala Lumpur,
NU OnlineMenjelang ujian semester Mei ini, Keluarga Mahasiswa NU (KMNU) International Islamic University Malaysia (IIUM) bekerjasama dengan Islamic Studies Forum for Indonesia menyelenggarakan kongkow spesial sebagai penutup rangkaian diskusi sepanjang satu semester. Kongkow spesial ini membedah disertasi seorang kandidat doktor asal ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) Robit Firdaus.

Sangat menarik, aktual dan bernas, sebab mengangkat tema “Fatwa dan Konflik Syiah di Indonesia”.
Dalam paparannya Robit mengatakan bahwasannya ada tiga perspektif secara umum yang digunakan untuk memandang Syiah. Yang pertama adalah perspektif Sunni. Dalam perspektif Sunni ini, semua hal yang berhubungan dengan Syiah sudah pasti salah dan tidak logis. Perspektif yang kedua adalah perspektif Syiah dalam memandang Syiah sendiri. Dengan perspektif kedua ini, apapun yang dilakukan Syiah adalah benar, terlepas dalam tubuh Syiah itu terdapat berbagai macam golongan dan friksi dari ekstrimis sampai moderat. Apabila golongan ekstrimis ini berhadapan dengan golongan Sunni, maka golongan moderat Syiah bisa dipastikan akan mendukung rekan Syiahnya yang ekstrimis, walaupun mereka mempunyai perbedaan. Bersatunya Syiah Ekstrimis dengan Moderat dalam hal ini sebab yang dihadapi adalah rival mereka bersama, Sunni.
Adapun, perspektif ketiga, yang sering dipakai dalam memandang perbedaan Syiah vis a vis Sunni adalah perspektif yang berupaya untuk mendekatkan Sunni dengan Syiah atas dasar pentingnya persatuan umat Islam. Tidak seperti dua perspektif sebelumnya, perspektif pendekatan (
tarqib) ini berupaya menelusuri dalil-dalil dan berbagai prinsip dasar yang sama dari kedua belah pihak, sehingga mampu dikerahkan untuk mempersatukan keduanya.
Dengan mengetahui beberapa macam perspektif tersebut, maka dengan kata lain, konflik-konflik teologis antara Sunni dan Syiah di Indonesia, sampai kapanpun tidak akan pernah bisa dihilangkan secara total. Ambillah contoh dalam nikah mut’ah, ulama Sunni mempunyai seribu dalil secara aqli dan naqli yang mengharamkannya, semisal. Begitupun juga dengan ulama Syiah, yang memilik dalil
aqli dan
naqli yang mampu melegalkan nikah mut’ah. Sehingga sampai kapanpun, opini keduanya tidak bisa dipersatukan secara holistik, karena landasan beragama mereka, baik yang bersifat teologis apalagi dalam ranah fiqh seperti mut’ah tadi, benar-benar berbeda.
Contoh lainnya dalam hal
imamah, yang merupakan dokrin utama Syiah.
Imamah bisa diartikan sebagai kepercayaan bahwa Sahabat Ali bin Abi Thalib adalah seseorang yang seharusnya sebagai khalifah sepeninggal Rasulullah. Dalam kacamata Sunni, doktrin
imamah tidak mendasar. karena tidak ada dalil
naqli secara
sharih yang menunjukkan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah seseorang yang harus menjadi pengganti Rasulullah. Namun, berbeda sekali dengan pandangan Syiah. Berangkat dari doktrin
imamah ini, lahirlah isu
tachriful (distorsi) Qur’an, baik secara maknawi maupun
lafdzi, dan juga “ritual” melaknat para sahabat yang dianggap tidak loyal kepada Sayyidina Ali.
Sebagai sampel ketiga, adalah sikap Hadlratus Syeikh Hasyim Asyari yang menganggap orang-orang yang mengikuti madzhab fiqh Ja’fariyah dan Zaidiyyah sebagai orang-orang yang
ahlul bid’ah. Menurut Hadratus Syeikh, kesalahan bid’ah ini bukan terletak pada Imam Abu Ja’far Ash Shodiq maupun Imam Zaid bin Ali sebagai pendiri madzhab. Namun, kesalahannya terletak pada para pengikutnya, yang tidak mendokumentasikan fiqh kedua imam ini dengan baik dan valid, sehingga keotentikan sumber-sumber rujukan dua madzhab fiqh ini banyak dipertanyakan dan sangat rentan terjadi penyelewengan (distorsi).
Karena perbedaan teologis dan perbedaan doktrin
ila yaumil qiyamah tidak akan mungkin bertemu, menurut Robit, tidak akan gunanya bagi ulama Syiah dan Sunni untuk duduk bersama mendiskusikan tentang perbedaan teologis mereka masing-masing, karena dasar yang akan digunakan dalam diskusi tersebut adalah perspektif kesatu dan kedua, dimana dua-duanya akan saling mengklaim kebenaran pada madzhabnya masing-masing. Karena argumentasi maupun bangunan pemikiran madzhab masing sudah ter-establish sedemikian kuatnya. Berbeda dengan forum dimana perspektif yang digunakan adalah perspektif persatuan umat. Sangat mungkin untuk bisa saling menghormati dan bertoleran.
Terkait dengan konflik yang terjadi di Indonesia antara Sunni dengan Syiah, ulama Sunni mengatakan tidak ada hubungannya antara fatwa yang dikeluarkan oleh ulama Sunni dengan konflik yang terjadi antara Sunni dan Syiah. Namun, ulama Syiah berpendapat lain bahwasannya fatwa itu berperan besar dalam konflik kekerasan antara masyarakat Sunni dan Syiah. Fatwa tersebut seperti minyak yang dilemparkan ke bara api. Dari dua perseteruan ini, Robit lebih memandang bahwa tidak bisa sepenuhnya fatwa itu disalahkan atas konflik yang terjadi di masyarakat karena faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antar masyarakat adalah sangat banyak (multifaktor), baik faktor sosial, ekonomi dan sebagainya. Akan tetapi, bukan berarti kehadiran fatwa tidak berkontribusi terhadap terjadinya konflik di masyarakat. Dia sudah pasti berpotensi dalam menyulut konflik di masyarakat, hanya saja proporsinya saja yang mungkin berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya, masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya.
Sebagai penutup, untuk membuat fatwa yang mempunyai kekuatan otoritatif, perlu ada tiga komponen penting yang perlu dihadirkan, yaitu pengarang, teks, dan pembaca. Pembaca dan pengarang harus dapat berdialog secara aktif, sehingga salah satu cara yang paling efektif untuk membuat fatwa semakin otoritatif adalah memastikan keikutsertaan objek yang akan dijadikan fatwa. Ini merupakan salah satu kritikan yang banyak dialamatkan kepada MUI. Contohnya ketika mereka memfatwakan Syiah sebagai kelompok yang dianggap sesat, mereka menyatakannya secara
in-absensial, tanpa kehadiran kelompok Syiah itu sendiri dan tanpa klarifikasi. Mereka hanya berfatwa berdasarkan teks-teks yang dijadikan referensi oleh ulama-ulama Syiah. Secara akademik, adalah kesalahan yang sangat fatal dengan menghilangkan unsur tersebut. Sehingga fatwa itu menjadi tidak otoritatif di kemudian hari, karena ada pembaca yang tidak diikutsertakan.
Kegagalan ulama Sunni dalam membentengi umatnya adalah faktor utama yang menyebabkan ummat Syiah semakin besar. Dalam perspektif Robit, tindakan yang paling urgen yang harus dilakukan oleh ulama Sunni dalam menghadapi Syiah adalah memperkuat basis dan pemahaman orang-orang Sunni dalam memahami ke-Sunni-annya, itu adalah lebih efektif daripada mensibukkan diri untuk menyerang Syiah dengan mengeluarkan fatwa yang menyatakan keharaman Syiah.
Red: mukafi niam
Sumber:
NU Online