Ultras Seblak adalah sebuah terminologi sosiokultural baru di skena eSport Indonesia, yang mendefinisikan kelompok suporter perempuan dengan karakteristik militan, antusias, namun tetap membawa nuansa feminin yang ekspresif. Istilah ini bukan sekadar julukan receh, melainkan representasi identitas kolektif yang menggabungkan fanatisme suporter garis keras dengan budaya populer lokal yang autentik.
Jika kalian perhatikan perkembangan industri kompetitif gim belakangan ini, ada pergeseran atmosfer yang cukup signifikan di tribun penonton. Dulu, rasanya tribun turnamen gim kayaknya didominasi oleh kaum adam dengan chant yang berat dan maskulin. Namun, narasi itu perlahan berubah. Berdasarkan pengamatan kami di lapangan, kehadiran kelompok yang dilabeli Ultras Seblak ini memberikan warna baru yang nggak bisa dipandang sebelah mata. Secara teknis, penggunaan kata “Ultras” meminjam istilah dari subkultur sepak bola yang merujuk pada suporter fanatik yang terorganisir. Sementara “Seblak” diambil sebagai metafora budaya; sebuah makanan pedas yang sangat identik dengan preferensi kuliner mayoritas perempuan muda di Indonesia. Jadi, gabungan keduanya menciptakan paradoks yang menarik: semangat yang membara (pedas/panas) namun tetap lekat dengan identitas keseharian yang kasual.
Fenomena ini nggak muncul begitu saja dalam semalam. Kira-kiranya, ini bermula dari interaksi organik di media sosial seperti X (sebelumnya Twitter) dan TikTok. Kalian pasti sering melihat potongan video di mana para suporter wanita ini berteriak histeris, membawa lightstick buatan sendiri, hingga mengenakan hoodie oversized saat mendukung tim kesayangan mereka di ajang MPL atau PMGC. Begitunya viral konten-konten tersebut, label “Ultras Seblak” pun melekat. Mereka nggak sekadar datang untuk cuci mata, tapi benar-benar paham makro dan mikro dari gim yang dimainkan. Antusiasme yang mereka tunjukkan sebegitunya intens, sampai-sampai suara mereka seringkali mendominasi siaran langsung, mengalahkan dominasi suara bariton penonton laki-laki yang biasanya memenuhi venue.
Dari perspektif industri, kami melihat ini sebagai tanda kedewasaan ekosistem eSport tanah air. Kehadiran mereka mematahkan stigma lawas bahwa gim kompetitif adalah ruang eksklusif laki-laki. Kuranglebihnya, Ultras Seblak adalah bukti validasi pasar bahwa perempuan memiliki daya beli dan daya dukung yang masif dalam ekonomi eSport. Mereka membeli merchandise, tiket, hingga berinteraksi aktif dengan konten sponsor. Cara mereka mendukung pun unik; alih-alih anarkis, mereka lebih sering menggunakan pendekatan kreatif. Spanduk dengan tulisan jenaka, jargon-jargon yang relate dengan kehidupan sehari-hari, hingga komentar spontan yang “pedas” tapi lucu menjadi ciri khas yang sulit diduplikasi oleh demografi suporter lain.
Tentu saja, dalam setiap fenomena budaya pop, pro dan kontra itu hal yang lumrah. Ada yang merasa risih karena dianggap terlalu berisik atau “lebay”, tapi sepertinya itu pandangan yang kurang relevan lagi sekarang. Faktanya, energi yang mereka bawa justru membuat pertandingan jadi lebih hidup. Rasanya ada yang kurang kalau turnamen besar digelar tanpa sorakan melengking nan semangat dari mereka. Lagipula, mereka menunjukkan dedikasi yang nyata. Datang pagi, antre tiket, dandan maksimal, dan teriak sampai suara habis itu bukan hal yang mudah. Segitunya usaha mereka untuk tim kebanggaan, sudah sepantasnya diapresiasi sebagai bagian integral dari komunitas kita.
Berdasarkan pengamatan kami, fenomena Ultras Seblak ini bukan tren sesaat yang akan hilang minggu depan. Ini adalah evolusi alami dari inklusivitas digital. Bagi kalian yang mungkin baru terjun ke dunia eSport, jangan kaget kalau atmosfer venue sekarang terasa lebih cair dan vibrant. Keberadaan rekan-rekanita ini justru memperkaya dinamika kompetisi. Saran kami, nikmati saja keramaian ini sebagai bentuk perayaan bersama. Toh, pada akhirnya kita semua disatukan oleh passion yang sama terhadap gim. Terima kasih sudah menyimak ulasan ini, rekan-rekanita, mari kita terus dukung eSport Indonesia agar semakin inklusif dan berprestasi di kancah global.