Bertambah, Negara Yang Mengekang Kebebasan Internet
WASHINGTON - Grup advokasi Amerika Serikat, Freedom House, mengemukakan pembatasan Internet yang dilakukan berbagai pemerintah makin meningkat dalam satu tahun terakhir.
Berbagai pemerintah menggunakan kekerasan terhadap para pemilik blog, menyensornya, hingga menahan mereka untuk mencegah terjadinya reformasi di negara tersebut.
Pakistan, Bahrain, dan Ethiopia menjadi tiga negara teratas yang paling membatasi penggunaan Internet warganya sejak Januari 2011. Ketiga negara tersebut juga termasuk ke 20 negara dari 47 yang menjadi objek pengamatan Freedom House.
Sebaliknya Tunisia, Libya, dan Myanmar adalah negara yang semuanya mengalami keterbukaan sistem politik atau perubahan rezim. Ketiganya telah banyak mengalami peningkatan keterbukaan bersama 14 negara lainnya, terutama dalam hal demokrasi advokasi dan keterbukaan masyarakat.
Laporan ini dirilis pada hari yang sama saat Vietnam mengeluarkan vonis penjara kepada tiga orang pemilik blog yang terkenal. Ketiganya mengritik keras kebijaksanaan pemerintah dalam menangani masalah hak kepemilikan tanah dan korupsi.
Berdasarkan laporan Freedom House, Estonia menjadi negara teratas untuk kebebasan berinternet sementara Amerika Serikat berada di peringkat kedua. Peringkat ini didasarkan pada tingkat kesulitan dalam mengakses internet, pembatasan konten, dan larangan-larangan terhadap pengguna.
Estonia unggul dalam unsur pembangunan kultur online termasuk Pemilu online dan ketersediaan akses rekam jejak kesehatan, sedangkan AS kalah pada unsur kecepatan internet, biaya, dan ketersediaan jaringan. Di lain pihak 19 negara telah mengeluarkan peraturan yang membatasi kebebasan internet.
Sebagai contoh, di Iran, badan sensor mengembangkan perangkat lunak untuk menyaring konten dan membajak sertifikat digital. Di Pakistan, jaringan virtual pribadi dilarang dan di 14 negara lainnya mengikuti langkah Cina yang mempekerjakan tim khusus untuk untuk memanipulasi komentar diskusi online.
"Pemerintahan otoriter yang menutup situs-situs dan blog terkenal telah mengundang kecaman baik dari wilayah setempat maupun internasional, mereka semakin menempuh jalan yang memprihatinkan dan tetap berbahaya untuk mengontrol percakapan online," ungkap pemimpin proyek 'Freedom on the Net', Sanja Kelly, seperti dikutip dari Reuters.
Penemuan-penemuan lain berdasarkan laporan ini di antaranya, banyak terjadi serangan fisik terhadap mereka yang aktif mengritik pemerintah.
Di 19 dari 47 negara yang masuk penilaian laporan, pemilik blog banyak yang disiksa, hilang, dipukuli, atau dicerca akibat tulisan mereka. Di lima negara lainnya, aktivis atau jurnalis warga pernah dibunuh setelah melaporkan informasi soal pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Selain itu, para pemilik blog atau pengguna internet lainnya yang ditahan akibat berbicara politik di situs mereka pun jumlahnya meningkat.
Di 26 negara, termasuk beberapa di antaranya negara demokratis, paling tidak ada satu pemilik blog atau pengguna internet yang ditahan karena merilis konten yang bertentangan dengan pemerintah.
Laporan ini merupakan hasil pemantauan dari Januari 2011 hingga Mei 2012 dan ini merupakan laporan ketiga mengenai kebebasan berinternet, dari informasi dan penelitian di 47 negara. Sumber: Republika