
PKB Gelar Perayaan Tahun Baru Imlek di Graha Gus Dur
Jakarta - Meski telah tiada, namun cita-cita mulia KH Abdurrahman Wahid untuk menyatukan kebhinekaan terus membahana. Siapa lagi yang meneruskan cita-cita sang guru bangsa kalau bukan Partai Kebangkitan Bangsa.
Refleksi Imlek 2564/2013 dengan tema Merajut Kekuatan Anak Bangsa Menuju Transformasi Indonesia yang digelar di Gedung DPP PKB, Jalan Raden Saleh No 9, Jakarta Pusat, Kamis (7/2/2013), menjadi salah satu buktinya.
Melalui kegiatan ini, PKB meneguhkan komitmen sebagai garda terdepan pembela pluralisme dan keutuhan bangsa. "PKB selalu mendukung seperti yang dilakukan Gus Dur dengan menghargai kaum minoritas seperti masyarakat Tionghoa," tegas Ketua Umum DPP PKB A Muhaimin Iskandar.
Tak hanya dalam rangkaian kegiatan Imlek, Cak Imin, sapaan akrab Muhaimin, menyatakan PKB akan terus menjalin kerjasama dengan masyarakat Tionghoa demi melanjutkan cita-cita Gus Dur untuk menyatukan kebhinekaan yang merupakan identitas bangsa.
Ketika menjadi presiden, pendiri PKB KH Abdurrahman Wahid, mencabut Inpres No 14/1967 karena bertentangan dengan UUD 1945. Sebelum dicabut, selama puluhan tahun, Inpres itu membelenggu etnis Tionghoa sehingga tak bisa bebas melaksanakan tradisinya, termasuk merayakan Imlek. Inpres yang dikeluarkan Soeharto tersebut melarang kaum Tionghoa merayakan pesta agama dan adat istiadat di depan umum dan hanya boleh dilakukan di lingkungan keluarga.
Saat menjadi Presiden Indonesia, Gus Dur mencabut Inpres tersebut lalu mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000. Keppres ini mengatur antara lain penyelengaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa. Kemudian pada tahun 2001 Gus Dur kembali membuat gebrakan dengan menjadikan tahun baru Imlek sebagai hari libur nasional fakultatif. Gus Dur sendiri hadir dalam perayaan Imlek tingkat nasional di Jakarta.
Atas jasa-jasa beliau, pada tanggal 10 Maret 2004 Gus Dur dinobatkan sebagai Bapak Tionghoa di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, kawasan Pecinan Semarang, Jawa Tengah. Gelar di atas kiranya sepadan atas jasa-jasa Gus Dur, mengingat kaum Tionghoa sebelum-sebelumnya selalu mendapat perlakukan diskriminatif.
Perlu diketahui, berdasarkan catatan Irianto Subiakto dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, sedikitnya ada 50 peraturan perundangan-undangan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa di Indonesia.
Sebut saja Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966 tentang peraturan ganti nama bagi WNI yang memakai nama Tionghoa. Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 285 Tahun 1978 tentang larangan mengimpor, memperdagangkan, dan mengedarkan segala jenis barang cetakan dalam huruf, aksara, dan bahasa Tionghoa. Kemudian Instruksi Presidium Kabinet Nomor 37 Tahun 1967 tentang kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah Tionghoa. Dalam sejarah Indonesia, beberapa kali etnis Tionghoa juga menjadi sasaran amuk massa. Mulai Chinezenmoord 1740 sampai peristiwa Mei 1998.
Sumber: DPP PKB
