- Kitab Majmu’ah asy-Syari’ah al-Kafiyah li al-’Awam, kandungannya membicarakan ilmu-ilmu syariat untuk orang awam;
- Kitab Munjiyat, tentang tasawuf, merupakan petikan perkara-perkara yang penting dari kitab Ihya’ `Ulum ad-Din karangan Imam al-Ghazali;
- Kitab al-Hikam, juga tentang tasawuf, merupakan petikan perkara-perkara yang penting daripada Kitab Hikam karangan Syeikh Ibnu `Athaullah al-Askandari;
- Kitab Latha’if at-Thaharah, tentang hukum bersuci.
- Kitab Manasik al-Hajj, tentang tatacara mengerjakan haji;
- Kitab ash-Shalah, membicarakan tatacara mengerjakan sembahyang;
- Tarjamah Sabil al-`Abid `ala Jauharah at-Tauhid, isinya mengenai akidah Ahli Sunnah wal Jamaah, mengikut pegangan Imam Abul Hasan al-Asy`ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi;
- Mursyid al-Wajiz, kandungannya membicarakan tasawuf atau akhlak;
- Minhaj al-Atqiya’, juga tentang tasawuf dan akhlak;
- Kitab Hadis al-Mi’raj, tentang perjalanan suci Nabi Muhammad s.a.w untuk menerima perintah sembahyang lima kali sehari semalam;
- Kitab Asrar as-Shalah, kandungannya membicarakan rahasia-rahasia sembahyang.
Kyai Sholeh Darat Semarang / Muhammad Shalih ibn Umar as-Samarani
Oleh Tri Wibowo BS
SHALEH DARAT, beliau adalah Wali Allah besar pada paruh kedua abad 19 dan awal abad 20 di tanah Jawa. Mbah Shaleh Darat dari Semarang, Jawa Tengah ini hidup sezaman dengan dua Wali Allah besar lainnya: Syekh Nawawi Al-Bantani dari Banten, (dulu masuk Jawa Barat) dan Mbah Kholil Bangkalan, di Madura, timur pulau Jawa. Dua orang muridnya kelak menjadi amat terkenal dan mempengaruhi Islam di Indonesia, melalui organisasi yang mereka dirikan: Muhammadiyyah dan Nahdlatul Ulama. Mbah Shaleh Darat kadang menulis namanya sebagai Muhammad Shalih ibn Umar as-Samarani.
Kyai Muhammad Shaleh Darat lahir di Mayong, Jepara pada 1820 M (1235 H), dan wafat di Semarang pada hari Jum’at 29 Ramadhan 1321 H atau 18 Desember 1903 M. Ayahnya, Kyai Haji Umar, adalah pejuang yang bergabung bersama Pangeran Diponegoro dalam perang melawan Belanda. Mbah Shaleh belajar ilmu agama pertama kali kepada ayahandanya. Kemudian beliau meneruskan mengaji ke Kyai Haji Syahid, Waturoyo, Pati, Jawa Tengah. Setelah itu beliau belajar kepada ulama besar lainnya, seperti Kyai Haji Ishaq Damaran, Kyai Haji Ahmad Bafaqih Ba’alawi, Kyai Haji Abdul Ghani Bima, dan lain-lain. Beliau kemudian diajak merantau oleh ayahnya hingga ke Singapura. Beberapa tahun kemudian mereka berdua menunaikan haji. Di tanah suci inilah ayahandanya wafat.
Mbah Shaleh kemudian berketetapan hati untuk menetap sementara di Mekah guna belajar ilmu agama lebih dalam kepada beberapa ulama besar di sana. Di antara gurunya di tanah suci adalah Syekh Muhammad al-Muqri, Syekh Muhammad ibn Sulaiman Hasbullah al-Makki, Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Nahrawi, Sayyid Muhammad Salen ibn Sayyid Abdur Rahman az-Zawawi, Syekh Zahid, Syekh Umar asy-Syami, Syekh Yusuf al-Mishri dan lain-lain. Karena kecerdasan, kealiman dan keluasan ilmu serta kemampuannya, akhirnya Mbah Shaleh mendapat ijazah dari beberapa gurunya untuk mengajar di Mekah. Selama di Mekah ini beliau didatangi banyak murid, terutama dari kawasan Melayu-Indonesia. Beberapa tahun kemudian Mbah Shaleh kembali ke Semarang karena ingin berkhidmat kepada tanah airnya. Beliau kemudian mendirikan pesantren di kawasan Darat, Semarang – dan karenanya beliau dikenal sebagai Kyai Shaleh Darat. Kepada murid-muridnya, Mbah Shaleh Darat selalu menganjurkan agar mereka giat menuntut ilmu. Menurut beliau inti Qur’an adalah dorongan kepada umat manusia untuk menggunakan seluruh potensi akal-budi dan hatinya guna memenuhi tuntutan kehidupan dunia dan akhirat. Di antara muridnya adalah Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari sang pendiri Nahdlatul Ulama, Kyai Haji Mahfuz Termas yang pakar hadits dan pendiri Pesantren Termas Pacitan, Kyai Haji Ahmad Dahlan sang pendiri organisasi Muhammadiyah, Kyai Haji Idris pendiri Pesantren Jamsaren Solo dan Kyai Haji Sya’ban sang ahli ilmu falak yang tersohor, Kyai Haji Bisri Syamsuri, Kyai Haji Dalhar, yang juga dikenal sebagai Wali Allah dan pendiri Pesantren Watucongol, Muntilan, dan sebagainya.
Salah satu muridnya yang terkenal tetapi bukan dari kalangan ulama adalah Raden Ajeng Kartini. Karena RA Kartini inilah Mbah Shaleh Darat menjadi pelopor penerjemahan al-Qur’an ke Bahasa Jawa. Menurut catatan cucu Kyai Shaleh Darat, RA Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Qur’an. Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Shaleh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Shaleh Darat. Dalam sebuah pertemuan RA Kartini meminta agar Qur’an diterjemahkan karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan al-Qur’an. Mbah Shaleh Darat melanggar larangan ini. Beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah. Kitab tafsir dan terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faid ar-Rahman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M. Joyodiningrat, seroang Bupati Rembang. Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan: “ Selama ini al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.” Melalui terjemahan Mbah Shaleh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya: Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya (Q.S. al-Baqarah: 257). Dalam banyak suratnya kepada Abendanon, Kartini banyak mengulang kata “Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya. Namun sayangnya penerjemahan kitab ini tidak selesai karena Mbah Shaleh Darat keburu wafat
Karya-Karyanya
Di antara karyanya selain tafsir Fa’id ar-Rahman adalah: