Di tengah gempuran inovasi teknologi, kecerdasan buatan (AI) kini bukan lagi sekadar bumbu pelengkap, melainkan pilar utama yang mengubah lanskap sektor kesehatan secara fundamental. Ibarat revolusi aljabar yang mengubah pemahaman kita tentang dunia, AI hadir sebagai game changer dalam toolkit medis. Jangan heran jika kunjungan berikutnya ke rumah sakit atau klinik bakal disambut oleh satu atau dua robot canggih. Bahkan, sebuah perusahaan telah sukses menorehkan sejarah dengan mengerahkan apa yang diyakini sebagai asisten medis robotik penuh pertama di dunia.
AI dalam Pelayanan Medis: Antara Harapan dan Tantangan
Bayangkan skenario ini: Anda tiba di rumah sakit dalam kondisi darurat, dan yang menyambut bukanlah perawat, melainkan robot yang disokong oleh AI. Sejatinya, AI dalam berbagai bentuk telah eksis selama puluhan tahun. Namun, berkat fenomena ChatGPT yang merambah ke ranah mainstream, publik kini makin ngeh dengan potensi AI, termasuk di sektor kesehatan.
AI telah lama menjadi tulang punggung bagi para dokter dalam mempercepat transkripsi catatan medis dan meningkatkan pengalaman pasien melalui chatbot. Namun, dengan hadirnya generative AI, kapabilitas para profesional dan ilmuwan kesehatan makin gila-gilaan. Teknologi ini mampu memprediksi risiko kesehatan di masa depan, mempercepat dan meningkatkan akurasi diagnosis, bahkan membantu dalam penemuan obat-obatan baru serta terapi inovatif.
Lantas, bagaimana jika robot sepenuhnya mengambil alih tugas-tugas vital seperti pemeriksaan, penilaian tes, hingga diagnosis? Akankah kita siap menerima kenyataan ini? Mari kita selami lebih dalam.
AI-First Company: Definisi dan Implikasinya
Belakangan ini, marak bermunculan perusahaan yang mengusung konsep “AI-first company“. Namun, apa sebenarnya definisi dari perusahaan semacam ini? Sederhananya, mereka adalah entitas yang mengandalkan data sebagai inti pengambilan keputusan. Ambil contoh, hukum imigrasi yang kompleks di Indonesia. Banyak aturan dan poin data yang harus dipertimbangkan sebelum seseorang bisa terbang ke luar negeri. Sistem AI akan mengambil aturan dinamis dan dataset sebagai input untuk memprediksi serta menghasilkan informasi atau hasil baru.
Secara tipikal, perusahaan AI bertanggung jawab dalam:
-
Inferensi Informasi: Ini mencakup aplikasi pencatat, speech-to-text, atau bahkan kemampuan AI untuk mengidentifikasi objek dalam gambar (misalnya, membedakan kucing dan anjing).
-
Model Penalaran: AI dapat menganalisis sejumlah besar teks dan menarik kesimpulan, seperti menganalisis sentimen pengguna terhadap suatu layanan.
-
Aksi dan Generasi Informasi Baru: AI dapat menghasilkan informasi atau perintah baru. Bayangkan generative AI yang bisa mendeteksi mangkuk di atas meja, mengambilnya, lalu mencucinya. Perilaku fungsional semacam ini sangat membantu, terutama bagi individu dengan keterbatasan fisik dalam melakukan pekerjaan rumah tangga.
Kehati-hatian dalam Implementasi AI, Khususnya di Sektor Kesehatan
Meskipun potensi AI sangat besar, implementasinya harus dilakukan dengan ekstra hati-hati, terutama di sektor kesehatan. Menjadi perusahaan AI-first di ranah medis bukanlah perkara mudah. Banyak data relevan tentang tubuh manusia yang tidak tersedia dalam bentuk digital. Tes darah dan pilihan tes darah yang harus dijalankan masih sangat bergantung pada informasi yang diungkapkan pasien kepada dokter.
Dalam kasus di mana bias manusia dapat membantu menyeimbangkan interpretasi data, AI yang dilatih pada subset data sangat spesifik berisiko bias terhadap data yang diberikan, alih-alih mampu melakukan inferensi visual layaknya dokter manusia. Inilah mengapa dokter keluarga masih memegang peranan penting. Mereka adalah sosok yang dipercaya, telah mengenal riwayat medis pasien selama bertahun-tahun, termasuk evolusi kesehatan, penyakit yang pernah diderita, hingga aktivitas atletik. Kita belum memiliki AI yang secara konstan mengikuti dan memahami perjalanan medis kita seperti itu.
Namun, dunia ideal adalah dunia di mana kita dapat memanfaatkan kolaborasi antara keduanya. Dokter yang cakap dapat menggunakan AI sebagai alat bantu untuk mengkonfirmasi atau menyanggah diagnosis, atau untuk mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Ini adalah use case yang sangat baik untuk AI di bidang medis.
AI dalam Jurnalisme: Antara Bantuan dan Pengganti
Di bidang lain, seperti jurnalisme, AI lebih cocok sebagai asisten ketimbang pengganti. Jurnalis manusia, seperti Malika atau Ezra Klein dari Vox, dihargai karena sudut pandang yang unik dan kemampuan untuk menantang pemikiran. AI belum tentu memiliki sudut pandang yang kontrarian, apalagi bias terhadap kondisi dunia saat ini dan interaksi dengan manusia di dunia nyata. AI hanya berbagi apa yang diketahuinya berdasarkan data tertulis yang diinput. Pengalaman dunia manusia sebagian besar tidak terbatas pada interaksi dengan komputer. Kita mungkin tidak menginginkan jurnalis yang mendasarkan informasinya hanya dari platform seperti Twitter.
Kepercayaan adalah interaksi human-to-human. AI adalah salah satu penggunaan komputasi pertama di mana kita harus skeptis terhadap output dan jawabannya. Secara historis, kita percaya bahwa 1 + 1 = 2 ketika menggunakan komputer. Namun, dengan AI, kita harus bertanya dan menginferensi apakah penalaran yang diberikan bias atau apakah AI menarik informasi yang benar. Halusinasi adalah fenomena yang perlu dipertimbangkan pada AI. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati jika jurnalis AI berhalusinasi tentang pengalaman yang tidak pernah terjadi. Meskipun manusia juga bisa melakukan itu, setidaknya ada pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban. Pada AI, ada perusahaan besar di baliknya yang mungkin lebih tertarik pada engagement daripada kebenaran.
Kesimpulan
Bagi sebagian besar bisnis, AI seringkali dianggap sebagai “peluru perak” atau “mercusuar harapan” yang dapat meningkatkan bisnis atau pendapatan. Namun, pada kenyataannya, tidak semua perusahaan membutuhkan AI. Banyak perusahaan bahkan belum optimal memanfaatkan data yang sudah mereka miliki. Sebelum mengadopsi AI, pertimbangkan di mana AI paling masuk akal dan benar-benar memberikan nilai bagi konsumen. Apakah masalah yang ada bisa diselesaikan dengan alat yang sudah ada, ataukah kita memaksakan AI hanya untuk mengikuti buzzword?
Di resume dari sumber: Malaka Project di youtube Maaf jika ada salah kutip atau salah menyimpulkan.