Ada banyak pertimbangan yang akhirnya membuat konsep Ahlul Wal Aqdi (Ahwa) mendesak diterapkan saat pemilihan pucuk pimpinan di Nahdlatul Ulama. Muktamar ke-33 NU di Jombang mendatang adalah kesempatan mengembalikan NU ke jalur terbaik.

Pandangan ini disampaikan KH Syafruddin Syarif saat dikonfirmasi NU Online melalui telepon selulernya. "Memang awalnya banyak yang mencurigai bahwa gagasan Ahwa mengandung unsur politis," kata Katib Syuriah PWNU Jawa Timur ini, Senin (15/6) petang. "Padahal kalau kita melihat kondisi NU saat ini sudah sangat mengkhawatirkan, sudah darurat," ungkap Pengasuh Pondok Pesantren Hidayatuddin al-Islami Probolinggo ini. Proses pemilihan pucuk pimpinan baik di tingkat syuriah maupun tanfidziyah dengan sistem voting akan semakin menghancurkan NU, lanjutnya. "Karena itu saat memberikan penjelasan kepada para ulama dalam pertemuan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di PBNU kemarin malam, saya juga kemukakan sejumlah fakta yang akhirnya membenarkan keadaan ini," tandasnya. Di salah satu konferensi tingkat PCNU, ternyata yang terpilih sebagai ketua adalah mantan narapidana. "Dan kondisi ini juga dirasakan tidak hanya di Jawa Timur, bahkan hampir di seluruh kepengurusan NU di tanah air," ungkapnya. Oleh sebab itu, Kiai Syafruddin mengemukakan saat ini sudah saatnya pemilihan rais syuriah maupun ketua tanfidziyah dikembalikan kepada sistem Ahwa. "Apalagi sistem ini telah diterapkan oleh para sahabat dan salafus shalih," ungkapnya. (Syaifullah/Abdullah Alawi)
Sumber: NU Online