Di tengah gemerlapnya kota-kota besar di Korea Selatan, terutama di Seoul, sebuah fenomena budaya yang dikenal sebagai Cagongjok telah menjadi topik perbincangan hangat.
Istilah Cagongjok adalah istilah yang merupakan gabungan dari kata Korea untuk “kafe” (ca), “belajar” (gongbu), dan “suku” (jok), merujuk pada sekelompok orang—terutama mahasiswa dan pekerja remote—yang menggunakan kafe sebagai tempat belajar atau bekerja dalam durasi yang sangat lama. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan perubahan dalam cara masyarakat memanfaatkan ruang publik, tetapi juga menimbulkan dilema bagi pemilik kafe yang harus menyeimbangkan keuntungan bisnis dengan kebutuhan pelanggan. Artikel ini akan merangkum budaya Cagongjok, mengeksplorasi akar masalahnya, dampaknya terhadap kafe, dan reaksi masyarakat serta pemilik usaha terhadap fenomena ini.
Asal-Usul dan Makna Cagongjok
Cagongjok bukanlah fenomena baru di Korea Selatan, tetapi telah berkembang pesat sejak sekitar tahun 2010, seiring dengan pertumbuhan pesat rantai kafe waralaba seperti Starbucks dan kafe independen. Menurut data dari National Tax Service, jumlah kedai kopi di Korea Selatan meningkat sebesar 48% dalam lima tahun terakhir, mendekati angka 100.000 kafe pada tahun 2025. Pertumbuhan ini mencerminkan popularitas kafe sebagai ruang sosial, tetapi juga sebagai tempat alternatif untuk bekerja dan belajar.
Istilah Cagongjok sendiri mencerminkan tiga elemen utama: kafe sebagai ruang liminal, belajar sebagai bentuk pengembangan diri, dan komunitas atau “suku” yang memiliki kebiasaan serupa. Bagi banyak orang, kafe bukan sekadar tempat untuk menikmati kopi, tetapi juga ruang yang menawarkan kenyamanan, suasana sosial, dan lingkungan yang mendukung produktivitas. Fenomena ini terutama menarik perhatian di kalangan generasi muda, khususnya Generasi Z dan milenial (dikenal sebagai generasi MZ di Korea), yang menghadapi tekanan akademik dan profesional dalam masyarakat yang sangat kompetitif.
Seperti yang dijelaskan oleh Profesor Lee Eun-hee dari Inha University, kafe berfungsi sebagai “tempat perlindungan sosial” bagi individu yang tinggal sendiri, terutama di apartemen kecil atau lingkungan yang kurang kondusif untuk belajar. Dalam wawancara dengan The Korea Herald, ia menyebutkan bahwa kafe memberikan keseimbangan paradoksikal antara kesendirian dan kebersamaan, di mana seseorang dapat bekerja secara individu sambil tetap merasakan kehadiran orang lain di sekitarnya. Hal ini diperkuat dengan penggunaan headphone peredam bising, yang memungkinkan Cagongjok menciptakan ruang psikologis pribadi di tengah suasana publik.
Mengapa Kafe Menjadi Pilihan?
Ada beberapa alasan mengapa kafe menjadi pilihan utama bagi Cagongjok dibandingkan perpustakaan, ruang kerja bersama, atau rumah mereka sendiri. Pertama, kafe menawarkan lingkungan yang lebih santai dan fleksibel dibandingkan perpustakaan, yang sering kali terasa “pengap” atau memiliki aturan ketat. Seorang mahasiswa berusia 29 tahun, Yu-jin Mo, mengungkapkan kepada BBC bahwa ia merasa lebih nyaman di kafe dibandingkan perpustakaan karena suasananya yang lebih hangat dan ketersediaan makanan serta minuman. Selain itu, kafe sering kali berlokasi sangat dekat dengan tempat tinggal, seperti yang diceritakan oleh Choi, seorang pekerja yang tinggal hanya dua menit dari kafe favoritnya.
Kedua, kafe memberikan stimulasi sosial yang tidak ditemukan di rumah, terutama bagi mereka yang tinggal di apartemen kecil atau lingkungan yang tidak mendukung produktivitas. Menurut survei Job Korea, 60% dari 182 pekerja kantoran generasi MZ menggunakan kafe untuk belajar atau bekerja, dengan alasan utama termasuk belajar bahasa asing (37,2%), meningkatkan keahlian di bidang tertentu (32,2%), dan memperoleh sertifikasi karir (31,4%). Hal ini mencerminkan budaya pengembangan diri yang kuat di Korea Selatan, di mana individu merasa perlu terus meningkatkan kompetensi mereka untuk bersaing di pasar kerja yang ketat.
Ketiga, kafe menawarkan fasilitas seperti Wi-Fi gratis, colokan listrik, dan suasana yang mendukung fokus, yang sering kali tidak tersedia di rumah. Namun, kebiasaan ini telah memunculkan tantangan baru, terutama ketika beberapa Cagongjok membawa peralatan berlebihan seperti dua laptop, strip daya dengan enam colokan, atau bahkan printer dan monitor desktop, seperti yang dilaporkan oleh beberapa pemilik kafe.
Dampak Cagongjok terhadap Pemilik Kafe
Meskipun Cagongjok membawa pelanggan ke kafe, kehadiran mereka juga menimbulkan masalah signifikan bagi pemilik usaha. Salah satu isu utama adalah “seat hogging” atau pendudukan kursi dalam waktu lama dengan pembelian minimal. Seorang pemilik kafe di Daechi, Hyun Sung-joo, menceritakan kepada BBC bahwa ia pernah menghadapi pelanggan yang membawa dua laptop dan strip daya untuk mengisi daya semua perangkat mereka sepanjang hari. Akibatnya, ia terpaksa memblokir colokan listrik untuk mencegah pelanggan seperti ini menduduki meja terlalu lama.
Di Seoul, di mana biaya sewa tempat sangat tinggi, pendudukan meja dalam waktu lama dapat merugikan bisnis. Menurut data dari Korea Food Industry Research Institute tahun 2019, kafe mencapai titik impas ketika pelanggan menghabiskan sekitar 4.100 won (sekitar $3,5) untuk kopi sambil tinggal selama kurang lebih satu jam 42 menit. Namun, banyak Cagongjok hanya membeli satu minuman dan tinggal selama berjam-jam, bahkan seharian penuh, yang menyebabkan kerugian finansial bagi kafe.
Starbucks Korea, sebagai salah satu rantai kafe terbesar di negara itu, baru-baru ini mengeluarkan pedoman nasional pada 7 Agustus 2025 untuk mengatasi kasus-kasus ekstrem. Pedoman ini melarang pelanggan membawa peralatan besar seperti printer atau monitor desktop dan meninggalkan meja tanpa pengawasan dalam waktu lama. Meskipun Starbucks menegaskan bahwa mereka tidak akan mengusir pelanggan, staf akan memberikan “bimbingan” untuk memastikan lingkungan yang lebih nyaman bagi semua orang. Langkah ini menuai reaksi beragam: sebagian pelanggan menyambut baik sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi kafe sebagai tempat bersosialisasi, sementara yang lain menganggapnya sebagai pembatasan kebebasan.
Kafe independen juga menghadapi tantangan serupa. Seorang pemilik kafe di Jeonju, yang meminta untuk dirahasiakan identitasnya, memperkenalkan kebijakan “No Study Zone” setelah menerima keluhan tentang pelanggan yang menduduki meja untuk 10 orang hanya dengan dua orang. Ia menetapkan batas waktu dua jam untuk pelanggan yang belajar atau bekerja, meskipun aturan ini tidak berlaku untuk pelanggan reguler yang hanya menikmati kopi. Pemilik kafe lain, seperti Park yang mengelola kafe dekat kampus universitas, khawatir tentang biaya utilitas yang meningkat, terutama selama musim panas ketika banyak Cagongjok berkumpul selama periode ujian.
Reaksi Masyarakat dan Solusi yang Diusulkan
Budaya Cagongjok telah memicu diskusi publik yang luas di Korea Selatan. Bagi sebagian orang, Cagongjok dianggap sebagai cerminan dari masyarakat yang hiperkompetitif, di mana tekanan untuk terus belajar dan meningkatkan diri mendorong generasi muda mencari ruang alternatif untuk bekerja. Profesor Choi Ra-young dari Ansan University berpendapat bahwa Cagongjok adalah “korban dari sistem sosial” yang tidak menyediakan cukup ruang publik seperti perpustakaan atau ruang kerja bersama yang terjangkau. Ia menyerukan pembuatan ruang yang lebih inklusif yang memungkinkan studi di kafe tanpa mengganggu pelanggan lain.
Di sisi lain, beberapa pelanggan merasa bahwa Cagongjok telah mengubah suasana kafe menjadi terlalu sunyi dan tidak ramah untuk bersosialisasi. Mereka mengeluhkan kesulitan menemukan tempat duduk karena meja dikuasai oleh laptop, buku, dan peralatan lainnya. Seorang pelanggan Starbucks di Gangnam mengatakan kepada BBC bahwa suasana kafe yang tenang membuatnya merasa tidak nyaman untuk berbicara dengan bebas.
Beberapa kafe telah mencoba menyesuaikan diri dengan menyediakan fasilitas khusus untuk Cagongjok, seperti colokan listrik tambahan dan meja individu. Namun, solusi ini tidak selalu efektif, terutama di kafe dengan ruang terbatas. Alternatif lain yang diusulkan adalah pembukaan lebih banyak ruang kerja bersama atau perpustakaan umum yang dirancang untuk mendukung kebutuhan generasi muda. Namun, tantangan utama tetap pada bagaimana menyeimbangkan kepentingan bisnis kafe dengan kebutuhan Cagongjok.
Cagongjok di Negara Lain
Meskipun Cagongjok adalah fenomena yang sangat terkait dengan budaya Korea Selatan, tren serupa juga muncul di negara lain, terutama setelah pandemi COVID-19 yang mendorong peningkatan kerja jarak jauh. Menurut laporan ONS tahun 2025, 42% pekerja di Inggris melakukan kerja jarak jauh setidaknya sebagian waktu, yang menyebabkan munculnya budaya “working from café” (WFC). Di Inggris, kafe seperti Pophams Bakery di London dan Black Cat Bar & Coffee Shop di Liverpool telah menerapkan pembatasan penggunaan laptop untuk mengatasi masalah serupa dengan Cagongjok.
Namun, skala fenomena ini di Korea Selatan jauh lebih besar karena kombinasi faktor budaya, sosial, dan infrastruktur. Tekanan akademik dan profesional yang intens, ditambah dengan keterbatasan ruang di rumah, membuat kafe menjadi pilihan utama bagi banyak orang. Selain itu, budaya kafe yang kuat di Korea—dengan ribuan kedai kopi yang menawarkan suasana nyaman dan fasilitas modern—memperkuat daya tarik Cagongjok.
Kesimpulan
Budaya Cagongjok adalah cerminan dari dinamika sosial dan budaya di Korea Selatan, di mana kafe telah bertransformasi dari sekadar tempat untuk minum kopi menjadi ruang publik untuk belajar dan bekerja. Namun, kebiasaan ini juga menimbulkan tantangan bagi pemilik kafe, yang harus menghadapi kerugian finansial akibat pendudukan meja dalam waktu lama. Sementara beberapa kafe seperti Starbucks telah menerapkan pedoman untuk mengatasi kasus ekstrem, solusi jangka panjang mungkin terletak pada penciptaan ruang publik yang lebih inklusif dan terjangkau.
Fenomena ini juga mengundang kita untuk merenungkan bagaimana masyarakat modern menyeimbangkan kebutuhan individu dengan kepentingan kolektif. Cagongjok mungkin dianggap sebagai “gangguan” oleh sebagian orang, tetapi mereka juga merupakan produk dari sistem sosial yang menuntut produktivitas tinggi dalam lingkungan yang sering kali tidak mendukung. Dengan pendekatan yang bijaksana, budaya Cagongjok dapat diintegrasikan ke dalam ekosistem kafe tanpa mengorbankan kenyamanan pelanggan lain atau keberlanjutan bisnis.