Skip to content

emka.web.id

menulis pengetahuan – merekam peradaban

Menu
  • Home
  • Tutorial
  • Makalah
  • Ke-NU-an
  • Kabar
  • Search
Menu

Karya Syech Nawawi al-Bantani

Posted on August 17, 2011

Kairo, NU Online
Nawawi al-Bantani mengarang beberapa karya yang sampai saat ini masih rutin dikaji di pesantren. Akan tetapi, kebanyakan karangan al-Nawawi adalah karangan tautologis; pembacaan ulang terhadap nalar Islam lampau, tanpa kritisisme, serta tanpa penyibakan historisitas doktrin-doktrin lama. Apalagi, mayoritas karangan-karangan Nawawi adalah hasyiah (catatan pinggir) dan syarah (penjabaran).

Nah, herannya, menurut hasil pembacaan Fahmi, kebanyakan dari pengkaji sosio-historis Nawawi hanya terbatas pada ke-Nusantaraan saja. Padahal ada faktualitas sejarah yang melingkupi keberadaan Nawawi di Mekah-Madinah.

“Padahal, pada masa itu, sebagaimana direkam oleh Zaini Dahlan dalam bukunya yang berjudul Khulashatul Kalam fi Bayani Ulamai Balad al-Haram, buku yang bercerita perjalanan Mekah-Madinah semejak era Abbasiyah sampai tahun 1884, Tanah Haram dikelilingi oleh tiga kekuatan raksasa; Imperalisme Inggris dan Prancis, dominasi Wahabisme, dan Kekaisaran Turki Utsamani,” ungkapnya.

Oleh karena itu, karangan-karangan Nawawi al-Bantani—secara implisit–juga bisa dibaca melalui pengukuhan doktrin-doktrin Aswaja yang diperangi oleh Wahabi. Seperti konsep teologi Asy’ari, fikih Syafi’i dan tasawuf al-Ghazali.

Hal ini berbeda dengan Zaini Dahlan yang mengarang bantahannya secara vulgar terhadap dakwah Wahabiyyah dalam bukunya yang betajuk al-Durar al-Sunniyyah fi al-Raddi ‘ala al-Wahhabiyyah. Walapun Nawawi al-Bantani mempunyai aksi konkrit melawan kolonialisme, misalnya, ia mempengaruhi jama’ah haji untuk melawan kolonialisme Belanda, akan tetapi dalam karangan-karangan Nawawi tidak dituliskan situasi politik pada masa itu, dan secara eksplisit, karangan Nawawi tidak responsif terhadap perkembangan zaman.

Berpijak dari fakta ini, menurut penuturannya, Nawawi al-Bantani hampir tidak mempunyai karangan orisinil; mayoritas karangannya hanyalah penjabaran dan catatan pinggir atas pemikiran ulama klasik.

“Secara global, pemikiran Imam Nawawi tidak ada yang baru, kecuali beliau hanya menambahkan permasalahan-permasalahan parsial yang diambil dari kaidah global dari kitab yang beliau jabarkan isinya,” ungkap Hadidul Fahmi.

Yang menarik adalah, Nawawi al-Bantani kerap mengutip Zamakhsyari, penafsir otoritatif Muktazilah dalam Bahjat al-Wasail. Seperti dalam permasalahan jumlah para Nabi.

Hadidul Fahmi juga menambahkan, meminjam metodologi turats yang dikembangkan oleh Abed Al-Jabiri, pemikir Islam asal Maroko, pengkaji tradisi klasik harus mampu menjadi subjek sekaligus objek, sehingga akan ada dialog pemikiran antara tradisi klasik dengan tantangan modernitas.

“Tradisi di mata al-Jabiri adalah objek dan subjek sekaligus. Objektivikasi tradisi yang dikenal dengan fashl qari’ ‘an al-maqru; membaca tradisi sebagai masa lalu, akan tetapi juga pada satu kondisi bisa berlaku sebagai subjek; washl al-qari’ bi al-maqru’. Jadi, jika saya membayangkan sebagai seorang Nawawi al-Bantani, saya membaca tradisi, dan sekaligus menjadikan tradisi sebagai solusi tantangan modernitas. Itu artinya menjadikan tradisi sebagai subjek dan objek sekaligus,” pungkas Ahmad Hadidul Fahmi.

Setelah Ahmad Hadidul Fahmi mengurai penjelasannya panjang lebar, Muslihun Maksum selaku moderator memberikan memberikan waktu kepada Fahmy Farid sebagai narasumber kedua untuk menambahkan penjelasan terkait pemikiran Nawawi al-Bantani terkait dengan sumbangsih pemikirannya kepada generasi Islam-Nusantara.

Di awal penjelasan, ia memaparkan bahwa Islam-Nusantara tidak bisa lepas dari doktrin-doktrin pemikiran yang dilahirkan dari Timur-Tengah. Ada semacam akulturasi yang intim antara poros Mekah-Madinah dengan lokalitas Indonesia, yang notabene turut serta membentuk simpul-simpul wacana Islam trans-nasional (internasional).

Hal ini disebabkan, cendekiawan Islam Nusantara mempunyai persinggungan epistemik antara pegiat Islam Indonesia dengan banyak Ulama Timur-Tengah, khususnya Haramain. Maka dalam hal ini, Fahmy Farid mencoba memetakan terlebih dahulu proses epistemifikasi dan kaitan doktrinal Islam Nusantara dengan Timur-Tengah, terutama kaitannya dengan identitas Islam Nusantara yang mengerucut pada tipologi pemikiran Asy`ari-Mathuridi, Al-Syafi`i serta Al-Ghazali.

Menurut penuturan Fahmy Farid, “Sejauh ini terdapat tiga teori yang menjelaskan proses tranmisi ke-Islam-an di Nusantara; teori perdagangan, teori batu nisan dan teori sufi.” Tak ayal, keterbukaan peleburan antar relasi menjadi sedemikian penting terkait proses identifikasi jaringan epistema Islam Nusantara, paling tidak untuk menguraikan relasi dan pola kebiasaan (inter-behaviour) antara Timur-Tengah dengan Nusantara. Untuk mendedah dan memetakan jaringan epistemik ini, Fahmy Farid meminjam analisa Foucault.

Lain pada itu, meminjam analisa Azyumardi Azra, transmisi ini melibatkan beberapa fase. Fase pertama, hubungan yang terjadi lebih berkenaan dengan perdagangan. “Hubungan antara kaum muslim awal mula bisa dikatakan terjalin lewat proses perdagangan. Mereka menjadikan kepulauan Nusantara tidak hanya medan berdagang, tapi dalam batasan abstraksi tertentu juga menyebarkan Islam kepada penduduk setempat, dengan menggunakan pendekatan-pendekatan kultural,” tutur Fahmy Farid. Dengan cara berdagang inilah Islam tersebar luar di bumi Nusantara.

Fase kedua, para penyebar ajaran Islam di Nusantara mulai mengambil jalan yang lebih intim. Dalam pengertian lain, proses penyebaran Islam dengan cara berdagang belum membentuk sebuah karakter pemikiran yang utuh terhadap pemikiran Islam di Nusantara. Belum hadir semacam pembasisan identitas di sana. Sehingga, pada fase berikutnya, penyebaran Islam dilalui dengan cara ajaran-ajaran sufi.

“Maka bisa dipastikan, proses pembasisan Islam Nusantara lebih banyak bersinggungan dengan Islam sufistik sebagai titik pijaknya,” ungkap Fahmy Farid.

Fase ketiga, hubungan yang terjalin menjadi lebih bersifat politik-kekuasaan. Menurut Fahmy Farid, dengan terjalinnya hubungan antara penduduk Nusantara dengan para pedagang atau pengembara sufi, maka masyarakat Nusantara mulai tertarik dengan kajian-kajian Islam secara langsung pada pusatnya, yaitu di Timur-Tengah. Semakin membludaknya orang-orang Indonesia di Timur-Tengah mendorong kemunculan komunitas masyarakat muslim Nusantara di Haramain. Mereka biasa disebut Ashâb Al-Jawiyyîn (saudara kita orang Nusantara).

Jika alur paradigmatik Islam Nusantara terbentuk melalui proses demikian, bisa dibilang potret tradisi keberagamaan Nusantara menjadi cenderung kosmopolitan, mengingat orientasi yang terbentuk bercorak internasional dengan Haramain sebagai pusat paradigmatiknya. Karena orientasi asing inilah, potret Islam Nusantara tidak bisa semerta dianggap terisolir dari peradaban dunia luar.

Terbaru

  • Cara Login, Register, dan Transfer Data MyKONAMI
  • Website PT Melia Sehat Sejahtera Apakah Penipuan?
  • Alternatif APK Bling2: Alternatif Stylish untuk Ekspresi Diri
  • Contoh Bio IG Keren
  • Apa Arti Best Combo? Definisi dan Contoh Penggunaannya
  • Rakettv 2: Live Streaming Bola & Olahraga Lengkap Gratis (APK & Blog)
  • Apa itu Website SugarDaddy.com? Hati-hati Ilegal!
  • Apa Itu Pekerjaan Clipper Tiktok?
  • Mengenal Situs tiktoklikesgenerator.com
  • Apa itu Ovil App Studio?
  • jimpl.com: Alat Online Gratis untuk Melihat Metadata dan Data EXIF Foto
  • Kenapa Chromebook Tak Populer di Indonesia?
  • 10 Cara Menambah Followers Instagram Gratis di Tahun 2025: Strategi Lengkap
  • Cara Dapat Reward Telkomsel Prestige Gold 17GB
  • 5 Fitur Premium di ASUS Gaming K16 K3605VC, Laptop Gaming dengan Harga Terjangkau!
  • Inilah 6 SMA Swasta Terbanyak Masuk PTN dan Kampus Luar Negeri
  • Cara Didik Anak agar Disiplin dan Bertanggung Jawab atas Tindakannya
  • Apa itu Badan Otorita Pengelola Pantai Utara Jawa (BOP Pantura)?
  • Contoh Makalah K3: Apa itu Sertifikasi K3?
  • Cara Cek Bansos September 2025
  • Ini Jadwal Kereta Bandara Adi Soemarmo Agustus 2025
  • Apa itu Jabatan Fungsional Penggerak Swadaya Masyarakat Ahli Pertama?
  • Cagongjok: Budaya Memalukan Korea, Ketika Kafe Jadi Kantor dan Ruang Belajar
  • Pengertian Anomali Brainrot
  • Penemuan DNA Denisovan Manusia Purba Amerika
  • SpaceX Akan Luncurkan Pesawat Rahasia X-37B Space Force Amerika
  • Biawak: Antara Hama dan Penjaga Ekosistem
  • Ini Profil Komjend Dedi Prasetyo Wakapolri Baru
  • Fraksi PKB DPRD Pati Tetap Selidiki Dugaan Pelanggaran Kasus RSUD Pati
  • Fraksi PKB Kritik Penggunaan Anggaran Prabowo, Fokus pada Fasilitas Publik
  • Cara Login, Register, dan Transfer Data MyKONAMI
  • Website PT Melia Sehat Sejahtera Apakah Penipuan?
  • Alternatif APK Bling2: Alternatif Stylish untuk Ekspresi Diri

©2025 emka.web.id | Design: Newspaperly WordPress Theme