Jakarta, NU Online
Surat al-Ikhlas disebut sepertiga al-Quran, karena di dalam surat ke-112 ini berbicara mengenai tauhid dan adab bertauhid. Surat yang menggambarkan peradaban manusia dan bangunan kemanusiaan ini juga layak diteliti sekaligus ditulis menjadi tesis atau disertasi.
Demikian penjelasan pengasuh kajian Tasawuf Dr KH Lukman Hakim di hadapan para santri Pesantren Ciganjur dan puluhan jamaah pengajian Ramadhan di Masjid Al-Munawwaroh Jalan Warung Sila No 10 Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Rabu (1/7), malam.
Untuk Ramadhan kali ini, Pesantren Ciganjur asuhan Almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengaji kitab Tasawuf berjudul al-Qashdu al-Mujarrad fi Ma'rifati al-Ismi al-Mufrad karya Syeikh Ahmad ibn Athaillah al-Sakandari.
“Mahasiswa saya kira bisa bikin tesis atau disertasi surat Al-Ikhlas ini. Sebab isinya tentang bangunan kemanusiaan. Bahkan, kalau mau lebih teliti membacanya, akan ditemukan isu-isu kekinian. Kriminologi ada juga di situ,” ungkap Kiai Lukman.
Kiai pegiat tarekat ini juga menjelaskan, di antara keistimewaan isim mufrad Allah, bahwa di dalamnya ada banyak hal yang sangat luar biasa. “Ada rahasia hikmah pengetahuan yang sangat luhur dan agung. Ketika Allah disebut, Dia sudah huwa dulu,” ujarnya.
Dalam Qulhuwallahu Ahad, lanjut Kiai Lukman, mengandung sastra yang sangat tinggi. “Ketinggiannya sungguh tiada tara. Ini menggambarkan bahwa ketika seseorang masuk wilayah struktur yang dipahamkan, adalah soal tauhid,” tuturnya.
Dalam semacam pemikiran filosofis, lanjut Kiai Lukman, ketika seseorang diperintah kepada hal yg di luar kemampuannya, pasti akan termangu-mangu. “Setelah tahu, ternyata Allah yaa.. Allah lalu jawab, iya. Aku nggak usah kamu cari. Lha wong Aku nggak ke mana-mana. Di situ seseorang terikat betul dalam sebuah fitrah,” ujarnya.
Ibaratnya, tambah Kiai Lukman, manusia masuk dalam makna yang belum terkontaminasi yang lain. “Ini baru qulhuwallahu ahad, tapi dahsyatnya bukan main. Mulai alamul ghuyub hingga alam al-dzahir,” katanya.
Di wilayah ahad inilah puncak perjalanan Tauhid. Ahad itu sebagai petunjuk tunggal, itu berarti sendiri. “Berarti ya nggak ada siapa-siapa. Allah ya maha sendiri dalam apa saja. Dalam menyelesaikan persoalan hamba-Nya. Nggak ada temennya. Karena itu, Dia itu menjadi segala-galanya. Dia satu-satunya.,” ujar Kiai Lukman.
Kemudian dilanjutkan Allahu al-Shamad, tempat bergantung. Karena Dia-lah yang satu-satunya. Sayangnya, hati manusia mengingkarinya. “Hati kita saja yang nggak mau bergantung. Gitu lho.. Padahal darah yang ngalir ini saja bergantung kepada Allah,” tandasnya.
Menurut pengasuh majalah Cahaya Sufi ini, hati manusia gagal mempraktikkan ahadiyah-nya Allah. “Ya, kita gagal. Kalau Allah tempat bergantungnya makhluk, maka tak ada yang lain,” tegas Kiai Lukman.
Kiai Lukman berencana, untuk pengajian Ramadhan 1437 H akan membaca kitab tentang Gramatika Spiritual (Nahwul Qulub). “Tahun depan kita ngaji kitab yang lain ini. Kalau ngaji Nahwu, tapi maknanya tasawuf semua, pasti seru yaa,” pungkasnya. (Musthofa Asrori/Mahbib)
Sumber: NU Online