Al-Minah al-Saniyyah ‘ala al-Washiyah al-Matbuliyah adalah salah satu karya Syaikh Abd al-Wahhab al-Sya’rani (898-973 H), sebuah anotasi atas wasiat-wasiat Syaikh Abi Ishaq Ibrahim al-Matbuliy (w. 877 H).
Tidak banyak literatur yang menerangkan biografi Syaikh Abi Ishaq Ibrahim ini. Sependek penelusuran saya, saya hanya mendapati informasi tanggal wafat beliau di Corpus Inscriptionum Arabicarum Palaestinae vol. I (Moshe Sharon, 1997).
Di sana tertulis, hadza dharihu al-abd al-faqir ilaLlah ta’ala, al-Imam al-Rabbani Qutb al-Wujud Abu Ishaq Ibrahim al-Matbuliy, a’adalLahu barakatihi, amiin. Tuwuffiya ila rahmatilLah ta’ala nahar al-itsnain tsani ‘asyar Rabi’ al-Awwal sanah sab’ah wa sab’in wa tsaman miah. Ini merupakan makam seorang hamba yang butuh kepada Allah, al-Imam al-Rabbani Quthb al-Wujud, Abu Ishaq Ibrahim al-Matbuliy, semoga Allah memberkatinya, amiin. Beliau wafat pada Senin, 12 Rabiul Awal 877 H (tepat 17 Agustus 1472).
Sementara Syaikh Abd al-Wahhab al-Sya’rani, beliau adalah Abd al-Wahhab bin Ahmad bin Syihab al-Din Ali al-Sya’rani al-Anshari, bermazhab fikih Syafii, bertarekat Syadzili. Lahir di Qalqashandah (atau Qarqashandah), Mesir pada 898 H (1492 M). Beliau hidup di pinggiran anak sungai Abi Sya’rah, Al-Minufiyah. Wafat di Kairo pada 973 H (1565 M).
Pada biografi pengantar Mawazin al-Qashirin (salah satu karya Imam Sya’rani juga, disunting oleh Syaikh Dr. ‘Ashim Ibrahim al-Kayyali), diceritakan Imam Sya’rani kecil hidup yatim dan diasuh oleh Nabi Khidr alaihissalam, di samping oleh kakeknya, Syaikh Syihab al-Din. Sejak kecil beliau terkenal sebagai wali.
Baca juga: H.O.S Tjokroaminoto dan Islam yang Holistik
Konon, beliau tidak tidur hingga bertahun-tahun. Beliau mensiasatinya dengan memasang tali di atap tempatnya berkhalwat. Lalu tali tersebut beliau lilitkan ke leher. Dengan begitu, beliau takkan bisa mengantuk, apalagi tidur. Semua waktunya beliau gunakan untuk beribadah dan belajar.
Salah satu karamah beliau adalah didatangi bangsa jin. Beliau berkata, “mereka datang kepadaku membawa tujuh puluh lima pertanyaan ilmu tauhid, dan aku diminta untuk menuliskan jawabannya. Kata mereka, ulama-ulama mereka tidak mampu menjawab pertanyan-pertanyaan tersebut. Dan para ulama bangsa jin mengatakan bahwa semua pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab oleh ulama bangsa manusia. Mereka memanggilku Syaikhul Islam. Walhasil, aku menuliskan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut dan kunamai Kasyf al-Hijab wa al-Ran ‘an Wajh As’ilah al-Jan.”
Akan tetapi, karamah paling agung yang dimiliki Imam Sya’rani adalah kemakrifatan beliau kepada Allah yang berbuah pada pelaksanaan hukum-hukum syariat dan kaidah-kaidah tarbiyah dan suluk. Salah satu panduan tarbiyah dan suluk menuju Allah adalah al-Minah al-Saniyyah ini.
Al-Minah al-Saniyah dibuka dengan wasiat Syaikh Abu Ishaq al-Matbuliy agar selalu istikamah dalam bertaubat.
Taubat secara etimologi berarti kembali. Sedangkan secara syara’, taubat dalah kembalinya seseorang dari hal yang buruk menurut syariat, menuju hal yang baik menurut syariat.
Baca juga: Sabilus Salikin (63): Wirid Tarekat Sa'diyyah
Imam Sya’rani kemudian menambahkan bahwa taubat memiliki awal dan akhir (tingkatan). Awal taubat adalah taubat dari dosa-dosa besar, lalu taubat dari dosa-dosa kecil, lalu dari hal-hal yang makruh, lalu dari hal-hal yang syubhat.
Setelah taubat dari hal-hal yang syubhat, selanjutnya naik, bertaubat dari hal-hal yang baik menurutnya. Dengan begitu seseorang akan merasa termasuk kaum papa di dunia. Tingkatan selanjutnya, adalah taubat dari perasaan sebagai kaum papa di dunia. Pada tingkatan taubat ini, seseorang baru akan merasa bahwa dirinya benar-benar telah bertaubat.
Setelah bertaubat dari rasa bahwa dirinya telah bertaubat, lalu (tingkatan selanjutnya) adalah taubat dari kelebat-kelebat yang terbesit di benak yang tak diridai Allah. Dan terakhir, taubat dari lalainya hati mengingat Allah, meski sekejap mata. Inilah tingkatan taubat paling tinggi.
Begitu panjang dan tingginya tingkatan taubat. Benarlah jika Syaikh Abu Ishaq al-Matbuliy berwasiat untuk selalu istikamah dalam bertaubat. Tak cukup bertaubat saja. Tetapi juga mesti istikamah.
Wasiat berikutnya adalah meninggalkan hal-hal mubah untuk meningkatkan derajat ke maqam yang lebih tinggi.
Syaikh Ali al-Khawas rahimahullah, sebagaimana dikutip Imam Sya’rani, berkata, “Allah tidak menjadikan hal mubah kecuali untuk menyenangkan Bani Adam (manusia) dari beratnya kewajiban, di mana Allah juga menyertakan rasa bosan dalam diri manusia. Andai Allah tidak menyertakan rasa bosan dalam diri manusia, niscaya Allah tidak akan memberikan kemubahan sebagaimana yang Allah lakukan kepada para malaikat yang selalu tunduk dan patuh atas perintah Allah.”
Baca juga: Sabilus Salikin (109): Corak Pemikiran dan Gaya Ibnu Arabi (Tarekat Akbariyah)
Wasiat berikutnya adalah supaya tidak menyakiti makhluk. Sebab hal itu merupakan racun yang akan membunuh pelakunya.
Imam Sahl rahimahullah berkata, “yang menjadi penutup atau penghalang antara makhluk dengan alam malakut adalah dua hal; buruknya makanan dan menyakiti sesama makhluk.” Lalu beliau juga berkata, “tujuh hal pokok untuk sampai kepada Allah adalah berpegang teguh pada al-Quran, mengikuti Rasulullah Saw, memakan makanan halal, menjauhi maksiat, bertaubat, menunaikan hak-hak, dan tidak menyakiti makhluk. Yang terakhir ini masih dibagi menjadi dua, yaitu tidak menyakiti dengan anggota tubuh (fisik) dan tidak menyakiti dengan hati (seperti bersuuzan kepada siapapun).”
Demikian beberapa wasiat dalam al-Minah al-Saniyyah. Masih banyak lagi wasiat yang sangat penting lainnya, seperti bahaya riya’, makan barang haram, keutamaan qiyam lail, salat berjamaah dan anjuran berzikir. Al-Minah al-Saniyah adalah salah satu kitab yang selayaknya selalu dibaca, lebih-lebih oleh saya, apalagi di bulan mulia ini. Semoga kita selalu dalam limpahan taufiq-Nya, amiin.
Baca Juga
Artikel ini di kliping dari Alif.id sebagai kliping/arsip saja. Segala perubahan informasi, penyuntingan terbaru dan keterkaitan lain bisa dilihat di sumber.