Skip to content

emka.web.id

Menu
  • Home
  • Indeks Artikel
  • Tutorial
  • Tentang Kami
Menu

G30S Jadi Revolusi Gagal atau Memang Rencana Soeharto?

Pada tanggal 1 Oktober 1965, pukul 11.00 Waktu Indonesia Barat, Radio Republik Indonesia (RRI) mengumumkan terbentuknya Dewan Revolusi Indonesia oleh Gerakan 30 September (G30S). Dewan ini diklaim sebagai sumber segala kekuasaan, sementara Kabinet Dwikora dinyatakan demisioner. Namun, muncul pertanyaan mendasar: apakah G30S adalah gerakan revolusi sejati, ataukah sebuah skenario politik yang dirancang untuk gagal sejak awal?

Pengumuman yang disiarkan melalui RRI tersebut mengklaim G30S sebagai gerakan revolusioner yang akan menggantikan struktur kekuasaan lama dengan tatanan baru. Namun, jika ditelisik lebih dalam, gerakan ini tampak penuh dengan kejanggalan dan inkonsistensi. Tujuan revolusi yang seharusnya menjadi kompas utama, justru kabur dan tidak jelas. Strategi yang direncanakan tampak lemah, identifikasi musuh tidak konsisten, kepentingan yang dilindungi tidak terdefinisi dengan baik, dan sekutu tidak jelas.

Salah satu kejanggalan utama adalah ketiadaan arah yang jelas. Meskipun mengklaim semangat revolusi, G30S tidak memiliki manifest politik, platform ideologis, atau dokumen transformatif yang menjelaskan sistem baru yang ingin dibangun. Tidak ada kejelasan mengenai bentuk kepemimpinan Dewan Revolusi, apakah akan kolektif, militeristik, sipil, atau dikendalikan oleh kekuatan komunis. Ketidakjelasan ini menimbulkan pertanyaan: apakah G30S merupakan upaya penguatan sistem Demokrasi Terpimpin Soekarno, upaya menggantinya dengan diktatur militer, ataukah proyek terselubung PKI untuk merebut kekuasaan?

Brigadir Jenderal Soepardjo, satu-satunya jenderal aktif yang bergabung dengan G30S, memberikan kesaksian yang mengguncang. Dalam refleksinya setelah gerakan gagal, ia menyatakan bahwa G30S tidak memiliki pimpinan tunggal, koordinasi, dan pemahaman yang jelas tentang apa yang sebenarnya dilakukan. Soepardjo bahkan mengakui bahwa gerakan tersebut terlalu bergantung pada keberuntungan, seolah berharap situasi darurat akan menciptakan peluang kekuasaan secara spontan. Analisis Soepardjo mengindikasikan bahwa para pelaku G30S lebih bertindak berdasarkan asumsi dan ketakutan daripada visi dan perencanaan yang matang. Mereka seolah hanya ingin menggulingkan musuh-musuh tanpa tahu apa yang akan dilakukan setelahnya.

Dalam skema revolusi, ketiadaan cetak biru sosial-politik yang jelas merupakan kesalahan fatal. Tanpa landasan yang kuat, tidak ada legitimasi baru yang dapat dibangun. G30S lebih layak disebut sebagai simulasi revolusi, meminjam bentuk tanpa isi, mengumumkan perubahan tanpa rencana transisi, dan menggunakan bahasa revolusioner tanpa revolusioner sejati. Para pelakunya adalah individu-individu yang gelisah, disatukan oleh ketakutan akan dominasi elite Angkatan Darat, bukan oleh ideologi pembebasan atau cita-cita kebangsaan. Jika revolusi adalah pergolakan besar yang dipimpin oleh ide, maka G30S hanyalah dentuman senjata yang diarahkan ke kabut tanpa bentuk.

Selain tujuan yang tidak jelas, G30S juga menunjukkan kelemahan dalam perencanaan dan kepemimpinan. Sulit dipercaya bahwa gerakan yang mengklaim akan mengambil alih kekuasaan nasional dipimpin oleh seorang perwira menengah berpangkat Letnan Kolonel, Untung Syamsuri. Dalam hierarki militer, Letnan Kolonel adalah perwira lapangan, bukan perancang strategi besar. Kepemimpinan sipil pun tidak kalah lemah. Syam Kamaruzaman, tokoh sipil yang sering disebut sebagai pemimpin politik G30S, tidak dikenal sebagai organisator ulung, politisi nasional, atau memiliki akar kuat dalam jaringan kekuatan massa rakyat.

Ketidakmampuan kepemimpinan ini tercermin dalam rencana dan eksekusi gerakan yang lemah. Soepardjo menyebutkan bahwa Untung gagal membubarkan pasukan dengan baik setelah operasi penculikan jenderal. Ketidakmampuan ini menunjukkan lemahnya profesionalisme dan ketidaksiapan mendasar dalam kepemimpinan operasi. G30S juga tidak dibekali dengan peta kekuatan nasional yang realistis. Tidak ada upaya sistematis untuk menggalang dukungan dari daerah-daerah, baik dari unsur militer maupun sipil. Bandingkan dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) atau Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang mampu membentuk pemerintahan tandingan dan menguasai wilayah de facto selama bertahun-tahun. G30S hanya bertahan tiga hari di Jakarta, jantung kekuasaan Republik.

Sejak awal, fondasi G30S sudah rapuh. Tidak ada kepemimpinan tunggal yang dihormati dan diikuti, struktur komando yang solid dan terintegrasi, atau kejelasan visi dan rencana aksi jangka panjang. Bahkan, mereka yang terlibat dalam gerakan pun tampaknya tidak yakin akan berhasil dan hanya menunggu keajaiban politik terjadi. Dalam kondisi seperti ini, kegagalan bukanlah kemungkinan, melainkan keniscayaan. Alih-alih sebagai upaya revolusioner yang terorganisir, G30S justru terlihat seperti peristiwa politis yang sengaja dibentuk untuk gagal. Keberhasilan dalam setiap usaha perebutan kekuasaan ditentukan oleh kepemimpinan, dan G30S tidak memilikinya.

Gerakan nasional yang berambisi mengganti tatanan kekuasaan membutuhkan koordinasi lintas wilayah, dukungan dari satuan militer di daerah, serta jaringan komunikasi yang terstruktur rapi. Namun, G30S justru menunjukkan kebalikan total dari prinsip dasar ini. Salah satu indikasi paling mencolok dari ketidaksiapan G30S adalah nihilnya komunikasi dan koordinasi dengan kekuatan-kekuatan militer di daerah. Tidak ada perintah terpusat yang disampaikan melalui saluran resmi, mobilisasi pasukan secara simultan, atau pengiriman instruksi taktis ke komando-komando di luar Jakarta.

Di Semarang, sempat terjadi penahanan sementara terhadap Pangdam VII/Diponegoro, namun tidak berlangsung lama dan tidak mengarah ke gerakan yang lebih luas. Di Yogyakarta, sejumlah pasukan diduga mendukung gerakan, tetapi tidak ada perintah operasional yang jelas. Kurir yang dikirim dari Jakarta menuju Palembang baru mencapai Tanjung Karang, Lampung, ketika gerakan sudah meletus dan hampir usai. Ini adalah bukti konkret betapa buruknya perencanaan waktu dan lemahnya kesiapan struktur nasional.

Gerakan ini seperti berjalan dalam ruang hampa, tidak hidup di dalam jalinan institusi atau jaringan sosial-politik yang mendukungnya. Tidak ada pesan politik yang dikirim ke partai-partai besar di daerah, komunikasi kepada kalangan sipil revolusioner, atau pernyataan yang disiarkan secara luas kepada rakyat. Dewan Revolusi Indonesia yang diklaim sebagai otoritas baru hanya berisi nama-nama yang sebagian besar tidak tahu bahwa namanya dicatut. Dewan tersebut tidak memiliki agenda kerja, struktur pemerintahan, atau legitimasi. Ia lebih mirip proklamasi simbolik daripada organisasi politik.

Di Jakarta sendiri, pasukan yang disebut menguasai tiga sektor (selatan, tengah, dan utara) tidak menunjukkan aktivitas berarti. Informasi yang berkembang menyebutkan bahwa pasukan tersebut bergerak merebut pusat-pusat kekuasaan seperti Istana Negara, RRI, atau kantor-kantor kementerian. Namun, sebagian dari mereka justru memilih bersembunyi, bingung, dan tidak mendapatkan perintah lebih lanjut. Sebagian besar dari mereka adalah tentara dari luar kota yang dibawa ke ibu kota tanpa pemahaman yang jelas tentang misi yang sedang mereka jalankan.

Pasukan yang dikerahkan untuk menguasai wilayah sekitar Monas, pusat simbolik negara, ternyata tidak dibekali logistik yang memadai. Mereka tidak membawa ransum, tidak ada distribusi makanan, bahkan tidak tahu di mana harus mencari bantuan. Laporan menyebutkan bahwa dalam keadaan lapar dan kebingungan, mereka justru mendatangi Markas Kostrad untuk meminta makanan, markas dari unit militer yang menjadi pusat perlawanan terhadap G30S.

Tidak adanya komando terpusat yang efektif menandakan bahwa G30S bukanlah gerakan revolusioner dalam arti sejati. Tidak ada pemimpin yang memegang kontrol atas jalannya peristiwa, integrasi antara lapangan dan pusat, yang terjadi hanyalah fragmentasi. Kelompok-kelompok kecil bergerak tanpa koordinasi, pemahaman, dan orientasi yang sama. Dalam kondisi seperti ini, satu-satunya hal yang bisa diharapkan bukan kemenangan, melainkan kekacauan dan akhirnya kekalahan.

Operasi yang menargetkan jantung kekuasaan negara semestinya dipersiapkan dengan kalkulasi matang, bukan dengan harapan kosong bahwa rakyat atau militer akan serta-merta berpihak. G30S bertumpu pada asumsi dan ilusi, melupakan satu hal mendasar dalam politik kekuasaan: tanpa struktur, jaringan, dan legitimasi, sebuah gerakan tak lebih dari manuver putus asa yang akan hancur bahkan sebelum sempat menapak.

Dalam setiap operasi militer yang menargetkan objek strategis, eliminasi terhadap tokoh-tokoh kunci yang dapat mengorganisir perlawanan adalah prinsip dasar. Dalam konteks G30S, para jenderal utama diburu dan dibunuh dengan asumsi bahwa mereka adalah hambatan utama bagi jalannya revolusi versi Dewan Revolusi Indonesia. Namun, di tengah upaya ini, muncul sebuah anomali mencolok: Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad, justru tidak disentuh sedikit pun.

Soeharto bukanlah figur sembarangan. Ia adalah Panglima Komando Strategis Angkatan Darat, unit paling siap tempur dalam tubuh TNI AD, dikenal dekat dengan Jenderal A.H. Nasution, dan merupakan salah satu perwira yang memiliki visi strategis. Pada saat itu, Soeharto secara de facto adalah calon kuat pengganti Jenderal Yani. Mengapa seseorang dengan potensi besar untuk membalikkan keadaan dibiarkan begitu saja?

Markas Kostrad di Jalan Merdeka Timur tidak dijaga, tidak ada patroli atau blokade dari pasukan G30S. Ketika berita penculikan para jenderal menyebar dan Jakarta berada dalam kekacauan, Soeharto justru bisa bergerak bebas, menuju Markas Kostrad, dan mulai mengambil alih situasi. Dalam waktu kurang dari 24 jam, ia sudah bisa menyusun struktur komando darurat dan memobilisasi perlawanan terhadap G30S.

Situasi ini menimbulkan spekulasi. Banyak pengamat menilai bahwa keberadaan Soeharto sebagai figur tak tersentuh bukanlah kebetulan. Dalam logika kudeta atau revolusi militer, tokoh seperti dia harus menjadi target utama jika memang niatnya adalah menggulingkan struktur kekuasaan dan menciptakan sistem baru. Ketidakhadiran Soeharto dalam daftar target hanya masuk akal dalam dua kemungkinan: G30S tidak tahu siapa sebenarnya lawan strategis mereka, atau Soeharto bukan lawan, melainkan bagian dari permainan itu sendiri.

Dalam konteks strategi politik, jika seseorang tidak diserang ketika logika menyerangnya mutlak, maka dia berada dalam wilayah konsensus atau dalam jaringan persekongkolan. Keberadaan Soeharto di luar lingkar kerasan G30S memunculkan dugaan bahwa gerakan ini tidak sepenuhnya di luar kendalinya. Apalagi, beberapa nama yang terlibat dalam G30S seperti Kolonel Latief adalah kawan dekat Soeharto. Latief bahkan diketahui menjenguk anak Soeharto yang sedang dirawat malam sebelum gerakan berlangsung dan dalam kesaksiannya menyebut bahwa Soeharto tahu gerakan akan terjadi.

Apakah Soeharto memang dibiarkan karena dianggap tidak berbahaya, karena ada kesepakatan yang tidak tertulis antara faksi di balik G30S dengan dirinya, ataukah ia memang menyusun skenarionya sendiri dari balik layar dan membiarkan gerakan ini berjalan agar ia bisa tampil sebagai penyelamat bangsa dalam kekacauan? Apapun jawabannya, ketidakhadiran Soeharto dalam daftar target bukanlah detail kecil, melainkan titik buta yang justru menguatkan jendela spekulasi terbesar dalam seluruh narasi G30S. Sejarah besar kadang ditentukan bukan oleh apa yang dilakukan seseorang, tetapi oleh apa yang tidak dilakukan terhadapnya. Dalam kasus ini, tidak melakukan apa-apa kepada Soeharto bisa jadi adalah tindakan paling strategis dari seluruh drama G30S.

Setelah menyimak berbagai keganjilan dalam G30S, dari tujuan yang kabur, struktur kepemimpinan yang rapuh, minimnya koordinasi daerah, hingga dibiarkannya sosok strategis seperti Soeharto tetap bebas, muncul pertanyaan mendasar: apakah ini benar-benar gerakan revolusioner yang gagal, ataukah sebuah skenario yang sengaja disusun untuk memang gagal? Ada alasan kuat untuk meragukan bahwa G30S adalah gerakan revolusioner murni. Revolusi sejati lahir dari kehendak massa, memiliki struktur kepemimpinan yang solid, dukungan logistik, dan narasi ideologis yang jelas. Namun, G30S tidak menunjukkan itu. Ia bukan revolusi, melainkan simulasi revolusi dan tampaknya satu simulasi yang memang disiapkan untuk dikorbankan.

Dalam dunia intelijen dan strategi militer-politik, dikenal apa yang disebut sebagai false flag operation, operasi yang dilakukan oleh satu pihak tetapi dikamuflaskan sebagai perbuatan pihak lain dengan tujuan menciptakan dalih untuk tindakan balasan yang lebih besar. G30S sangat mungkin termasuk dalam pola ini, tidak hanya karena kelemahannya terlalu mencolok, tetapi karena hasil akhirnya terlalu sempurna bagi satu pihak, Soeharto dan lingkaran elite militer Angkatan Darat.

Dalam waktu kurang dari 48 jam, Soeharto berhasil merebut kendali atas ibu kota, memonopoli saluran komunikasi (RRI dan TVRI), menetralisir lawan-lawan internal, dan kemudian mendeklarasikan bahwa gerakan ini adalah pemberontakan PKI. Padahal, tidak ada deklarasi resmi dari PKI sendiri bahwa mereka bagian dari gerakan tersebut. Namun, narasi itu diterima mentah-mentah oleh publik karena media telah dikuasai dan trauma nasional pasca-aksi kekerasan, mayat para jenderal, sumur Lubang Buaya, dan lain-lain dimanipulasi secara emosional dan visual untuk mengobarkan amarah.

Siapa yang benar-benar bermain? Kita tidak punya cukup bukti definitif, tetapi pola-pola dalam sejarah memberi kita kemungkinan. Faksi militer kanan yang merasa dominasi Jenderal Yani dan elite moderat AD terlalu lamban dalam menghadapi PKI bisa jadi ikut mendorong atau membiarkan gerakan ini agar memberi mereka legitimasi untuk bertindak keras. Soeharto sendiri, dengan jaringan perwira loyalisnya seperti Ali Moertopo dan Yoga Sugama, bisa saja membiarkan gerakan ini tumbuh, mengetahui bahwa jika gagal, ia akan muncul sebagai penyelamat dan itu yang terjadi.

Amerika Serikat dan sekutunya, melalui operasi intelijen regional, sangat berkepentingan untuk menghancurkan PKI, partai komunis non-penguasa terbesar di dunia saat itu. Maka, jika G30S menjadi dalih untuk pemusnahan total PKI, maka itu adalah kemenangan geopolitik bagi mereka di tengah Perang Dingin.

Dengan kata lain, G30S adalah panggung dan di panggung ini banyak aktor bermain dengan peran ganda: prajurit yang disesatkan, sipil yang dimanfaatkan, jenderal yang berpura-pura tidak tahu, dan kekuatan luar yang mungkin menyodorkan naskah dari balik layar. Bila benar gerakan ini dirancang untuk gagal, maka artinya yang dikorbankan bukan hanya para jenderal, tetapi juga ribuan rakyat sipil yang kemudian menjadi sasaran pembersihan sistematis. Pembersihan itu tidak hanya menghancurkan PKI, tetapi juga membungkam kaum intelektual progresif, aktivis tani, buruh, seniman kiri, bahkan mahasiswa. Sebuah lapisan kritis dalam masyarakat Indonesia dilenyapkan demi membentuk stabilitas semu di bawah Orde Baru.

Dalam suasana informasi yang dimonopoli, kebohongan menjadi kebenaran resmi. Sejarah ditulis oleh pemenang dan pemenangnya membuat skenario yang menghapus jejaknya sendiri. Puluhan tahun kemudian, kita masih bertanya-tanya siapa sebenarnya yang bermain di balik G30S? Apakah ada infiltrasi intelijen asing atau justru kekuatan dalam negeri yang menggunakan G30S sebagai alat untuk meraih legitimasi kekuasaan?

Jawaban atas pertanyaan ini memerlukan kajian yang berani dan tidak tunduk pada narasi resmi Orde Baru. G30S mungkin bukan revolusi, tetapi alat untuk menghancurkan PKI, mengubah peta politik, dan melahirkan Orde Baru. Sejarah ditulis oleh pemenang, tetapi kita wajib bertanya kebenaran mana yang disembunyikan. Kita yang hidup hari ini punya tugas moral untuk mengungkap kembali sejarah itu dengan keberanian, kehati-hatian, dan hormat bagi jutaan jiwa yang terkorbankan oleh kepalsuan yang dibungkus dari revolusi.

Artikel Diperbarui pada: 12 May 2025
Kontributor: Syauqi Wiryahasana
Model: Haifa Manik Intani
Seedbacklink

Recent Posts

TENTANG EMKA.WEB>ID

EMKA.WEB.ID adalah blog seputar teknologi informasi, edukasi dan ke-NU-an yang hadir sejak tahun 2011. Kontak: kontak@emka.web.id.

©2024 emka.web.id Proudly powered by wpStatically