
"Kenapa NU dipandang positif? Asal lihat NU orang sebenarnya melihat Gus Dur. Patokannya Gus Dur yang menanamkan keberagaman. Kalau Muhammadiyah patokannya Buya Syafii Maarif. Kalau tidak seperti Buya bukan Muhammadiyah," kata dia pada seminar bertema "Meninjau Peta Konflik dan Membangun Budaya Damai Dalam Kerangka Penguatan Bhineka Tunggal Ika Indonesia" di Ruang Apung Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis (11/6) itu. Sebagaimana Sukarno, Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu melampaui agama. "Dalam pengertian, Sukarno melihat kebangsaan ini harus menyatukan agama. Demikian juga Gus Dur. Polarisasi agama jangan ada lagi. Indonesia membutuhkan komitmen kebangsaan. Cinta harus lebih banyak ditebarkan supaya kondisi bangsa menjadi lebih baik," ujar dia lagi. Dalam konteks agama, katanya, asal orang Islam menulis Kristen pasti banyak jeleknya, sebaliknya juga demikian. "Kok tidak yang baik-baik saja yang ditulis?" tutur Pendeta Patty pada kegiatan dimoderatori Prof Dr Melani Budianta dari Universitas Indonesia. Ia lalu mencontohkan, dalam satu buku baru ditulis, saat ada konflik di Ambon banyak orang muslim dilindungi orang Kristen dan sebaliknya. "Ada kesadaran keberagaman di situ sebenarnya. Generasi Ambon yang membaca cerita itu akan menemukan perspektif lain, pandangan kesadaran akan keberagaman," papar Pendeta Patty. Karena itu, imbuhnya, dalam konteks kebangsaan melepas jubah agama akan membuat kondisi bangsa lebih damai. Hadir dalam kegiatan itu Koordinator Seknas Gusdurian Alissa Wahid, Koordinator Gusdurian Jombang Aan Anshori, Sekretaris Jenderal Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) Nia Sjarifuddin Joedopramono, penyair Faisal Kamandobat. (Gatot Arifianto/Mahbib) Sumber: NU Online