
Jakarta, Sofyan Tsauri, mantan teroris yang hadir sebagai narasumber dalam Workshop Tweet For Peace yang diselenggarakan oleh The Wahid Institute dan Twitter Indonesia, Rabu (10/2/2016) di Hotel Harris Tebet, Jakarta Selatan menegaskan bahwa gerakan radikal dan teror adalah bahaya laten di tengah masyarakat. Yakni bahaya yang bisa muncul kapan saja. Hal ini tumbuh dari akar pemahaman yang selalu mengafirkan sesama manusia atau paham takfiri. “Mayoritas teroris beranggapan bahwa tindakan teror yang dilakukannya sebagai sebuah kebaikan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah,” terang Sofyan. Mantan teroris yang pernah divonis selama 10 tahun tersebut juga menjelaskan bahwa selama ini untuk menyebarkan paham-paham radikal, kelompok teroris bahkan sekarang ISIS memanfaatkan media sosial seperti twitter. Sehingga menangkalnya menjadi lebih penting sebelum paham tersebut mengubah diri menjadi aksi teror. Senada dengan itu, teman Sofyan Tsauri yang dulu aktif dalam gerakan teror, Yudhi menjelaskan bahwa pemahaman banyak aktivis radikal dan teror banyak didapat dari situs salah satu imam mereka seperti Ustadz Aman Abdurrahman yang saat ini sedang menjalani vonis di Nusakambangan. “Bahkan hingga sekarang ini, Aman Abdurrahman masih bisa mengendalikan gerakan teroris di dalam penjara,” jelas Yudhi. Sementara itu, ulama muda NU yang juga sebagai narasumber KH Abdul Moqsith Ghazali menjelaskan, dalil-dalil agama yang sering digunakan oleh kelompok radikal dalam melegalkan setiap aksi terorisnya perlu memahami, bahwa wajah Al-Qur’an tidak berwajah tunggal. Artinya, lanjut Moqsith, tidak cukup memahami agama dari satu guru. “Perlu diketahui bahwa Imam Syafi’i belajar kepada 1000 guru,” terang Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU ini. Dalam sesi diskusi yang dimoderatori oleh Savic Ali ini, Moqsith menerangkan, strategi membendung gerakan radikal dan teror harus diubah. “Kita tidak bisa membubarkan mereka, kalau bisa kita bisa masuk ke dalam organisasi mereka untuk memberikan pemahaman agama yang baik dan benar,” papar Dosen Pascasarjana STAINU Jakarta ini. (Fathoni) Sumber: NU Online