
Perusahaan teknologi asal Tiongkok, Baidu, melalui unit bisnis robotaxi Apollo Go, berencana memperluas operasinya ke Eropa pada tahun ini. Sumber terpercaya yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa Apollo Go akan membuka entitas di Swiss dan meluncurkan operasi lokal serta di Turki dalam beberapa bulan mendatang. Baidu sendiri menolak berkomentar saat dikonfirmasi oleh CNBC.
Apollo Go mengoperasikan taksi tanpa pengemudi (driverless taxis) untuk umum, termasuk di pinggiran Beijing dan kota-kota lain di Tiongkok. Tarif yang dikenakan biasanya disubsidi. Pada bulan Maret lalu, Apollo Go mengumumkan rencananya untuk memperluas jangkauannya ke Dubai dan Abu Dhabi. Bahkan, pekan lalu, perusahaan ini menyatakan tengah melakukan pengujian di Hong Kong.
Regulator lokal di Tiongkok umumnya mengizinkan robotaxi beroperasi secara otonom penuh setelah melalui serangkaian tahap pengujian, baik dengan maupun tanpa pengemudi keselamatan di dalam kendaraan. Hal ini menunjukkan kepercayaan pemerintah terhadap teknologi dan kesiapan infrastruktur yang mendukung operasional robotaxi.
Pesaing Apollo Go, Pony.AI, juga mengumumkan kemitraan strategis dengan Uber untuk meluncurkan kendaraannya di platform perusahaan asal AS tersebut. Pony.AI juga berencana memperluas kehadirannya di Timur Tengah pada akhir tahun ini. Langkah ini menunjukkan bahwa pasar robotaxi semakin kompetitif dan terbuka untuk kolaborasi lintas platform.
Ekspansi Apollo Go ke Eropa merupakan langkah signifikan dalam industri robotaxi global. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi ini semakin matang dan siap untuk diimplementasikan di berbagai negara dengan regulasi yang mendukung. Kehadiran robotaxi diharapkan dapat meningkatkan efisiensi transportasi, mengurangi kemacetan, dan memberikan alternatif mobilitas yang lebih aman dan terjangkau bagi masyarakat.
Di belahan dunia lain, robotaxi sudah hilir mudik mengangkut penumpang tanpa campur tangan manusia. Sementara di Indonesia, kita masih berkutat dengan drama "ojol vs pangkalan" dan mimpi mobil terbang yang tak kunjung datang. Mungkin, suatu saat nanti, anak cucu kita akan bertanya, "Dulu, kenapa kita begitu lambat dalam mengadopsi teknologi canggih seperti ini?" Entah apa jawabannya. Mungkin karena kita terlalu sibuk dengan urusan politik praktis atau terlalu nyaman dengan zona nyaman. Atau mungkin juga, kita terlalu takut dengan perubahan. Yang jelas, sementara negara lain berlomba-lomba menuju masa depan, kita masih asyik dengan masa lalu. Kapan ya, Indonesia bisa seperti ini? Pertanyaan ini mungkin akan terus menjadi pertanyaan retoris, sampai akhirnya ada keberanian untuk mendobrak batasan dan membuka diri terhadap inovasi.
Artikel Diperbarui pada: 14 May 2025Kontributor: Syauqi Wiryahasana
Model: Haifa Manik Intani