
Pulau Biak, sebuah wilayah di ujung timur Indonesia, tiba-tiba menjadi sorotan dunia. Bukan karena keindahan alamnya, melainkan karena bayang-bayang Kremlin yang disebut-sebut ingin mendirikan pangkalan militer di sana. Laporan dari intelijen militer global ini memicu kekhawatiran, karena jika benar, Biak yang sarat sejarah bisa menjadi titik awal pertempuran senyap antara kekuatan-kekuatan besar dunia.
Australia langsung bereaksi, sementara Amerika Serikat mulai mempertajam radar. Sebuah pangkalan kecil di Indonesia berpotensi mengubah peta kekuatan di Pasifik. Bukan Ukraina, bukan Taiwan, melainkan Indonesia. Di tengah kesibukan dunia menebak langkah Rusia selanjutnya pasca-Ukraina, sebuah laporan intelijen militer internasional dari James justru menyebut Biak. Laporan itu mengindikasikan adanya permintaan Rusia kepada Indonesia untuk menggunakan Pangkalan Udara Manuhua di Biak sebagai titik transit militer. James menganggap permintaan ini sebagai bagian dari langkah strategis Rusia di Asia Pasifik, menyusul pertemuan tingkat tinggi antara pejabat kedua negara di awal tahun.
Pemerintah Indonesia dengan cepat mengeluarkan bantahan resmi melalui Kementerian Pertahanan. Namun, kekhawatiran telah menyebar. Rumor keberadaan Rusia di Biak membuat Australia gelisah dan memaksa Amerika Serikat untuk mengevaluasi kembali posisi militernya di Pasifik. Dalam geopolitik, bahkan berita yang dibantah pun bisa mengejutkan. Mengapa pulau kecil bernama Biak bisa memicu kegelisahan global? Jawabannya bukan hanya tentang lokasi, tetapi juga tentang ambisi dan sejarah panjang yang jarang dibicarakan.
Di peta, Biak mungkin hanya terlihat seperti titik kecil. Namun, bagi negara-negara besar, titik kecil ini bisa mengubah peta kekuatan global. Lokasinya sangat dekat dengan khatulistiwa, zona ideal untuk meluncurkan satelit ke orbit rendah. Ini bukan opini, melainkan fakta ilmiah yang diakui bahkan oleh NASA. Sejak lama, Biak telah diincar oleh kekuatan asing. Pada tahun 1990-an, pemerintah Indonesia menjajaki kerja sama dengan perusahaan luar angkasa Amerika. Pada tahun 2006, kerja sama antara Rusia dan lembaga penerbangan dan antariksa nasional mulai membahas Biak sebagai lokasi peluncuran satelit berbasis pesawat.
Ketertarikan asing terhadap Biak bukanlah hal baru. Hanya saja, peta kekuatan dunia kini mulai bergeser. Jarak Biak ke pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin hanya sekitar 1.300 km, terlalu dekat untuk diabaikan. Duta Besar Rusia pun segera menyatakan bahwa niat mereka terbatas pada dukungan fasilitas antariksa sipil. Namun, dalam geopolitik, tidak semua yang berbau sipil benar-benar bebas dari ambisi militer. Meluncurkan satelit bisa menjadi inovasi teknologi atau persiapan pengawasan global.
Untuk memahami mengapa Rusia begitu tertarik pada Biak, kita harus melihat gambaran yang lebih besar. Biak hanyalah satu titik dalam peta strategis global Rusia yang diubah. Australia selalu merasa tidak nyaman melihat kekuatan asing mendekati wilayah utaranya. Ketika laporan James muncul dan nama Biak disebut, alarm langsung berbunyi. Pangkalan militer Rusia di Biak akan menjadi ancaman langsung bagi halaman depan mereka.
Amerika Serikat mungkin tidak banyak bicara di depan publik, tetapi pola gerakannya selalu bisa dibaca. Jika Rusia benar-benar mendapatkan akses ke Biak, bahkan hanya untuk peluncuran satelit, tindakan balasan bisa saja terjadi. Guam akan diperkuat, Hawaii akan diperketat, dan Filipina, yang baru saja membuka kembali akses pangkalan untuk Amerika Serikat, bisa menjadi poros pertempuran baru di Pasifik Barat. Bagi Pentagon, kehadiran Rusia di wilayah tersebut bukan hanya ancaman militer langsung, tetapi juga simbol bahwa pengaruh Barat telah bocor di dekat titik yang selama ini mereka anggap aman.
Isu ini bukan lagi tentang Indonesia dan Rusia, tetapi tentang siapa yang masih mengendalikan langit dan laut di Samudra Pasifik. Satu pangkalan kecil bisa menjadi pembuka konfrontasi besar. Semuanya dimulai dari Papua. Di balik ketegangan, ada satu hubungan penting yang jarang disorot, yaitu hubungan Indonesia dan Australia. Ini bukan hanya tentang diplomasi, tetapi tentang siapa yang masih dipercaya dan siapa yang mulai dilupakan. Australia tahu bahwa satu-satunya cara untuk memengaruhi arah Indonesia bukanlah melalui tekanan, melainkan melalui hubungan.
Anehnya, hubungan kedua negara justru berada dalam kondisi paling damai dalam beberapa tahun terakhir. Tidak ada skandal penyadapan, tidak ada protes tentang hukuman mati, bahkan isu ekspor sapi pun mereda. Menurut analisis dari The Interpreter, justru karena hubungan ini terlalu tenang, Australia mulai merasa puas diri. Perdana Menteri Australia tidak menghadiri pelantikan Presiden Prabowo, sebuah tradisi yang telah dipertahankan sejak era John Howard. Padahal, Prabowo bukanlah pemimpin biasa. Ia agresif, aktif, dan kurang suka mendelegasikan urusan luar negeri kepada menterinya. Ini bukan era diplomasi protokol, melainkan era politik personal.
Ketika Australia gagal hadir, Rusia masuk dengan tema kerja sama. Meskipun setelah satu bulan keributan berita tentang rencana Rusia, Perdana Menteri Australia akhirnya menginjakkan kaki di Indonesia. Hubungan pertahanan yang lebih dekat antara Indonesia dan Rusia dalam imajinasi Australia adalah mimpi buruk yang tidak pernah mereka persiapkan. Apalagi, Rusia kini semakin dekat dengan Tiongkok, musuh utama Barat di wilayah tersebut. Ketika Rusia menunjukkan minat, satu-satunya alat yang dimiliki Australia adalah diplomasi.
Indonesia telah berulang kali menekankan bahwa kebijakan luar negerinya bebas dan aktif, tidak memihak blok mana pun, dan tidak tunduk pada tekanan siapa pun. Namun, di tengah pusaran kekuatan dunia, prinsip ini bisa menjadi diam dan rentan. Ketika Rusia menyatakan minat untuk menempatkan pesawat, meskipun berlabel sipil, di Biak, kita melihat lebih dari sekadar kerja sama teknologi. Ini juga tentang orbit kekuatan. Tanggapan Indonesia terhadap narasi besar ini bukan hanya masalah strategi, tetapi juga cerminan posisi tawar kita yang sebenarnya.
Di tengah krisis global, Indonesia memiliki segalanya yang dicari dunia: mineral langka, deposit emas di khatulistiwa, dan wilayah perbatasan yang ideal untuk pengaruh militer. Kita disebut sebagai kekuatan menengah. Namun, jika kita tidak berhati-hati, kita bisa menjadi panggung, bukan pemain. Panggung tidak pernah bisa menentukan naskahnya sendiri. Papua adalah lahan subur, bukan hanya titik di peta. Ini adalah tanah dengan luka sejarah. Tragedi Biak berdarah tahun 1998, ketika ratusan nyawa melayang dalam penindasan militer, belum sepenuhnya sembuh. Ketika aktor asing ingin masuk, bahkan dengan dalih perdamaian, luka itu bisa menganga kembali. Ketidakpercayaan pada pemerintah pusat masih berkobar dan isu orang asing bisa menjadi keretakan yang membakar Papua sekali lagi.
Di balik diplomasi yang tenang, Rusia bergerak cepat. Mereka tahu bahwa dalam geopolitik modern, simbol seringkali lebih kuat daripada senjata. Indonesia perlahan menjadi bagian dari simbol itu. Indonesia dan Rusia bukanlah mitra baru. Latihan angkatan laut Orion 24 pada November 2024 adalah tanda menghangatnya hubungan. Meskipun belum mencapai tingkat aliansi militer. Sejak 2006, Kremlin telah mengincar Biak sebagai lokasi peluncuran satelit. Sekarang, dengan Rusia berada di bawah tekanan sanksi Barat, Biak telah menjadi panggung yang sempurna untuk unjuk kekuatan.
Rusia tidak hanya bermain di bidang militer, tetapi juga meluncurkan serangan verbal di bidang opini. Dalam surat pedas kepada The Jakarta Post, Duta Besar Rusia menyinggung Australia, menuduh Canberra lebih memperhatikan pangkalan AS di tanahnya sendiri daripada kerja sama Rusia-Indonesia. Gaya retorikanya mengingatkan pada Trump yang menyerang Australia dan menuduhnya memainkan kartu Rusia untuk alasan politik domestik. Perdana Menteri Australia membalas dengan keras, menyebutnya propaganda Putin dan menegaskan kembali posisi anti-Rusia Australia.
Rusia tahu bagaimana bermain secara psikologis, mencoba memecah barisan Barat dengan kata-kata tajam. Banyak orang membayangkan pangkalan militer sebagai tempat kapal perang berlabuh. Namun, Biak memiliki makna yang jauh lebih dalam. Posisinya yang hampir sejajar dengan khatulistiwa menjadikannya bukan hanya batu loncatan, tetapi juga jendela untuk mengawasi seluruh Pasifik. Dari Biak, Rusia dapat meluncurkan satelit ke orbit rendah, memasang sistem radar laut, dan membangun pengawasan maritim yang mengintip dari langit hingga dasar laut. Targetnya bukan hanya lautan, tetapi juga sistem informasi regional yang selama ini dikendalikan oleh Amerika Serikat melalui Guam, Okinawa, dan Hawaii.
Semuanya bisa berubah hanya dari satu pangkalan. Pesawat tempur Rusia seperti 295 MS atau 2160 Blackjack yang dipersenjatai dengan rudal jelajah KH1 yang mampu membawa hulu ledak nuklir dapat langsung memata-matai Darwin, rumah bagi 2.500 Marinir Amerika Serikat dan landasan pacu masa depan untuk B52. Pangkalan Amerika Serikat di Guam, hanya 1.900 km dari Biak, akan menjadi target pengawasan. Pesawat pengintai Rusia dapat memata-matai pergerakan kapal induk AS dan mengganggu kelompok logistik. Bahkan Okinawa di Jepang, pusat militer Amerika Serikat di Pasifik Barat, bisa berada di bawah ancaman.
Rusia juga memiliki kartu mematikan lainnya, yaitu kapal selam Kasen dan Borey yang dipersenjatai dengan rudal Calibar dan Bulafa. Dari perairan Biak, kapal selam siluman ini dapat mencapai Guam atau Okinawa, meluncurkan serangan mendadak atau memata-matai armada Amerika Serikat tanpa terdeteksi. Meskipun menurut The Guardian, Biak belum memiliki pelabuhan untuk kapal selam secanggih ini, sehingga Rusia harus berinvestasi besar-besaran dalam infrastruktur. Jika mereka berhasil, ini akan menjadi mimpi buruk bagi Pentagon dan membuat Australia tidak bisa tidur nyenyak.
Selama ini, Australia merasa bahwa Papua adalah benteng alami yang dijaga oleh stabilitas Indonesia. Namun, jika kekuatan asing masuk ke sana, terutama dari Rusia, semua logika pertahanan mereka akan runtuh. Australia akan merombak total strategi militernya, menggelontorkan uang ke wilayah utara seperti Darwin dan Queensland, dan mulai menyiapkan narasi baru bahwa keamanannya tidak bisa lagi sepenuhnya diserahkan kepada diplomasi.
Yang paling berisiko dari semua ini adalah Indonesia. Kehadiran pangkalan militer asing, tidak peduli seberapa terbungkus dalam kerja sama teknologi sipil, akan selalu dibaca sebagai sinyal keberpihakan. Dunia tahu bahwa tidak ada yang benar-benar sipil dalam permainan satelit, rudal, dan radar jarak jauh. Tekanan akan datang dari barat, dari timur, dari negara-negara tetangga, dan mungkin dari dalam negeri sendiri. Jika Indonesia tidak tegas, kita akan mulai dilihat sebagai titik rentan, sebagai arena, bukan aktor. Bukan melalui perang terbuka, tetapi melalui operasi intelijen, permainan satelit, serangan siber, sabotase ekonomi, dan semua itu bisa terjadi di tanah kita sendiri.
Mungkin Biak tidak akan pernah menjadi pangkalan militer Rusia. Mungkin itu semua hanya kesalahpahaman atau rumor yang dibesar-besarkan oleh media asing. Namun, sejarah tidak menunggu klarifikasi. Ketika kekuatan-kekuatan besar mulai melihat ke timur Indonesia, ke wilayah yang selama ini tenang, kita harus bertanya, apakah Indonesia memainkan permainan besar ini atau justru sedang dipermainkan?
Artikel Diperbarui pada: 24 May 2025Kontributor: Syauqi Wiryahasana
Model: Haifa Manik Intani